“Sarimin pergi ke pasar.”
Itulah kata orang-orang saat aku tiba di pasar bersama Nenek Rahma.
Tak hanya itu, seketika mereka jadi heboh dan menghampiriku. Ada yang tertawa, ada pula yang menunjuk-nunjuk seolah-olah aku ini tontonan paling menghibur di tengah hiruk-pikuk desa.
Bagaimana tidak, aku ini bukan manusia, melainkan kera.
Walau Nek Rahma memakaikanku rompi dan topi petani, kenyataan bahwa aku adalah makhluk setinggi tiga jengkal, berekor panjang dan berbulu kelabu tak pernah luput dari perhatian orang.
Sambil memanggul pikulan, aku terus berjalan. Sesekali aku melompat, terdorong naluri.
Nek Rahma telah merawatku sejak kecil, seperti indukku sendiri. Selayaknyalah aku membantunya sebagai tanda sayang dan bakti.
Di lapak sayuran, Nek Rahma tampak kesulitan memilah-milah sayuran, mungkin karena matanya makin rabun. Jadi perankulah meraba-raba, menggunakan indera peraba, penglihatan dan penciuman serta naluriku, mengambil yang paling segar dari seluruh tumpukan.
“Wah, lagi-lagi Sarimin pandai memilih,” kata ibu penjual sayur sambil berdecak kagum.
Nenek Rahma mengulum senyum, pipinya yang cekung penuh keriput seakan menggembung. “Ah, mbakyu bisa saja. Ini ‘kan karena Sarimin sudah bertahun-tahun kulatih. Coba kalau tidak, dia pasti akan membuat segalanya kacau-balau. Bukankah begitu?”
Ibu penjual sayur memaksakan tawa, menerima uang-uang kepeng logam dari tangan keriput Nek Rahma. Di benakku sudah terbayang dagangannya yang berantakan. Sementara aku melahap pisang dan sayur di pojokan, berpesta-pora hingga perutku menggembung.
Tapi tidak, aku terbukti sukses menahan diri selama ini. Apa mau dikata, aku, Sarimin, memang bukan kera biasa.
Namun, sesaat kemudian, satu godaan terberat dan maha dahsyat meyerbu. Mataku tak lepas menatap benda keemasan, besar-besar nan ranum itu. Tak lain dan tak bukan, itu setandan pisang yang tergantung anggun di lapak seberang, bagai betina yang elok nan cantik, berbulu emas bagai perada.
Air liurku menetes. Ingin rasanya kutinggalkan saja beban pikulanku yang berat ini, menghambur, memadukan bibirku dan lidahku dengan rasa manis tiada tara itu.
Tiba-tiba, wajah Nek Rahma yang cekung mirip tengkorak membuyarkan anganku.
“Sarimin, ini nenek sudah belikan sesisir pisang untukmu. Jangan nakal, ya.”
Aku jumpalitan, kegirangan melihat buah kesukaanku siap untuk kunikmati. Walau sesisir, bukan setandan, yang penting aku kenyang, semua senang.
Saat meninggalkan pasar, kudengar satu orang berseru, “Datang lagi besok ya, Sarimin, titisan Hanuman!”
Titisan? Nek Rahma pernah bercerita tentang Hanuman, seekor kera putih yang sakti mandraguna, pahlawan paling pemberani dalam Epos Ramayana. Bila seseorang bertanya padaku, “Apa kau benar-benar titisan Hanuman?”
Jawabanku tentu saja, “Aku tak tahu.”
==oOo==
Suatu hari, Nek Rahma tak bisa bangkit dari tempat tidurnya.
“Sarimin, rasanya nenek sakit panas. Kaugantikan nenek ke pasar, ya,” ujar wanita tua itu dengan nada lemah.
Aku terdiam saat ragu melanda. Bisakah aku, seekor kera menggantikan tugas manusia? Yah, apa boleh buat, Nenek Rahma hanya sebatang kara, tanpa sanak-saudara. Jadi, dengan sigap kuraih kantung uang nenek, juga topi dan pikulan. Dan melesatlah Sarimin si kera keluar gubuk kayu-jerami kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA DALAM DUNIA
FantasyPercaya atau tidak, di balik dunia nyata tempat tinggal umat manusia ini, ada kekuatan-kekuatan yang lain jenisnya. Itu adalah kekuatan mistis supranatural yang melampaui hukum alam, namun tetap tunduk pada kuasa Sang Penentu Takdir. Karena mu...