Café d'Amor

589 30 0
                                    

Kulangkahkan kakiku yang gemetar dalam kafe ini.

Rasa sesak merasuk jiwa, menyusupi kalbu hingga kepala.

Suasana surga di dalam tak jua menyejukkan hati ini.

Suara-suara terus mendesak, ingin berteriak, “Mengapa? Mengapa?”

Gadis manis menyambut ceria, “Selamat datang di Café d’Amor, tempat berseminya asmara.”

Huh, asmara apa? Tak tahukah ia wajahku memendam prahara?

Tenang, nona. Takkan kuledakkan di sini. Setidaknya tergantung jawaban yang kudapat nanti.

Jadi, kupaksakan senyum dan ujaran, “Boleh saya bicara dengan pemilik kafe?”

“Oh, maksud mas Pak Dhimara? Dengan mas siapa ini? Untuk keperluan apa?”

“Saya Fadli. Urusan saya ini pribadi, tapi Pak Dhimara pasti akan tahu saat melihat saya.”

Kerutan tergurat di dahi gadis itu. “Baik, biar saya beritahu bapak dulu,” ujarnya sambil berlalu.

Menanti sejenak, gelisah memuncak.

Hingga tatapan menangkap seorang pria berjalan mendekat. Tigapuluhan, rupawan, berkacamata, figur panutan keluarga. Dengan celemek putih membalut kemeja sederhana, kurasa bukan dia pemilik kafe ini.

“Dengan Mas Fadli?” tegurnya ramah.

“Ya. Anda Dhimara?”

“Panggil Dhima saja. Mari, kita duduk dulu.”

Tegur sapa kebapakannya sedikit menghangatkan baraku. Saat kembali duduk di kursi pink empuk depan meja kaca putih ini, baraku kembali tersulut.

Harus menahan diri, harus.

“Nampaknya mas sedang ada masalah, ya?”

Ucapan Dhima membuyarkan lamunanku.

“Ah, begini…” Tentu saja ada masalah! Ayo bibir, katakanlah!

“Apakah ada hubungannya dengan kafe ini?”

Tepat sasaran. Ah, tentu saja. Kurasa barista seperti Dhima pasti mampu membaca isi hati pelanggan. Tapi, apa ia siap untuk yang satu ini?

Bibirku bergetar. “Ya. Kafe inilah sumber masalahnya.”

Dhima tampak terperanjat, bukan dibuat-buat.

“Jelaskanlah,” ujarnya.

Maka kubeberkan kenanganku. “Kira-kira dua bulan yang lalu, saya berkencan dengan seorang wanita di sini. Yah, suasana kafe ini sungguh romantis, tak kalah dengan kafe-kafe bergaya Hispanik di Lisbon, Portugal. Ditambah udara segar dari taman di luar, benar-benar sempurna seperti slogan anda itu.”

“Ah, ya, Café d’Amor, tempat berseminya asmara,” ujar Dhima.

Aku mengangguk. “Ya. Nah, semula saya ragu menyatakan cinta pada Meisya. Yah, takut ditolak dan sebagainya. Namun anda, ya, anda datang menyarankan minuman… apa ya…”

“Iced Caramel Macchiato, Toraja Blend. Saya baru ingat itu.”

“Tepat. Kopi keras membangkitkan keberanian. Saya bersorak saat Meisya menerima cinta saya.”

“Kalau tak salah, foto anda berdua juga terpampang di dinding depan, bukan?” Telunjuk Dhima menari-nari.

“Tak salah. Tapi sebaiknya anda cabut saja foto itu, juga slogan anda.”

“Lho, mengapa?” Senyum Dhima berganti kerutan di dahinya. “Apa yang terjadi?”

“Kami putus seminggu yang lalu. Tak sampai dua bulan! Huh! ‘Keajaiban Cinta’ kafe anda ini sungguh tak manjur!”

DUNIA DALAM DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang