Part 8 | Benci Jadi Cinta?

26 5 0
                                    

Motor Selatan berhenti di depan rumah Tara. Tara turun dari motor dan berdiri menghadap kearah Selatan.

"Makasih udah nganterin gue."

"Terima kasih lo bakal gue terima kalo besok lo traktir gue bakso mang Supri di kantin." Selatan bersedekap dada, memasang wajah meledek sambil menaik turunkan alisnya.

"Jadi lo gak ikhlas nganterin gue?" Tara menyipitkan matanya.

"Bukan gitu Tar. Gue ikhlas kok. Tapi kan hidup ini harus timbal balik, kalo istilah biologinya tuh simbiosis mutualisme. Karena gue udah ngeluangin waktu berharga gue untuk nganterin lo, jadi lo harus bales traktir gue besok. Gimana??" Selatan menaik turunkan alisnya lagi, mencoba membuat Tara setuju.

Tara mendengus pelan. "Padahal nilai biologi lo gak pernah lebih dari dua puluh. Bisa-bisanya lo bawa biologi untuk meras uang gue. Ckck Yaudah. Sana, pulang."

"Iya iya gue tau kok lo gak mau lama-lama sama gue, tapi gak gitu juga ngusirnya Tar. Sakit tau hati gue." Selatan memasang wajah menyedihkan yang dibuat-buat.

Tara menatap jijik Selatan sambil bergidik ngeri.

Tin tin

Suara klakson mobil itu mengalihkan pandangan keduanya. Selatan dan Tara menoleh kearah mobil yang baru saja dimatikan. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas keluar dari mobil dan berjalan kearah mereka.

"Papa?" Kata Tara terkejut.

Selatan menatap kearah Tara sebelum kemudian menatap kembali kearah ayah dari gadis itu. Pria paruh baya yang merupakan ayah Tara memandang penuh selidik kearah Selatan. Selatan turun dari motornya dan bergerak menyalami tangan ayah Tara.

"Temen atau pacarnya Tara?" Tanya Dimas Ranendra, ayah Tara.

"Saya Selatan om, temennya Tara." Kata Selatan dengan sopan.

"Papa tumben pulang cepet?" Tara bertanya untuk mengalihkan perhatian ayahnya yang sebelumnya menatap Selatan dengan pandangan mengintimidasi.

"Iya, ada yang mau papa sampein ke kamu. Kamu dari mana tadi? Kenapa bisa sama Selatan?" 

"Tadi Tara ada kerja kelompok di rumah Selatan, pak Joko gak bisa jemput jadinya pulang sama Selatan." Jelas Tara. Dimas mengangguk paham.

"Ohh gitu. Selatan, om titip jagain Tara kalo di sekolah ya." Ucap Dimas secara tiba-tiba sehingga membuat Selatan dan Tara saling pandang dengan raut terkejut. 

"Siap om. Kalo gitu, saya pamit dulu ya om. Udah malam soalnya." Pamit Selatan.

"Loh, gak mau mampir dulu?"

"Gak usah om, lain kali aja. Takut nanti dicariin sama bunda." Tolak Selatan dengan halus.

"Yaudah, kamu hati-hati di jalan. Makasih ya udah nganterin Tara pulang."

"Iya om, sama-sama. Saya pamit ya om, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah motor Selatan mulai menjauh dari rumah Tara, pandangan Dimas beralih pada Tara. "Ayo masuk, diluar dingin." Ajak Dimas pada putri semata wayangnya itu.

Tara tersenyum dan menggandeng lengan ayahnya untuk masuk ke dalam rumah. langkah mereka berhenti ketika sampai di pos satpam yang terletak di belakang gerbang. Pak Joko keluar dan memberi salam.

"Mobilnya sudah dibawa ke bengkel pak?" Tanya Dimas.

"Sudah Tuan, maaf ya non Tara tadi saya gak bisa jemput." Pak Joko berkata dengan nada penyesalan.

"Gak apa-apa pak." Jawab Tara.

"Tolong masukin mobil saya ke garasi ya pak." Dimas memberikan kunci mobilnya pada Pak Joko. Setelah Pak Joko mengambil kunci mobilnya, Dimas dan Tara masuk ke dalam rumah bersama-sama.

"Kamu mandi ya, abis itu kita makan bareng-bareng. Ada yang mau papa bicarain." Dimas mengelus rambut putrinya. Ia tau Tara selalu kesepian di rumah ini semenjak perceraiannya dua tahun lalu. Tapi ia bisa apa? Pekerjaan selalu menuntutnya untuk pergi sangat pagi dan pulang pada malam hari, bahkan bisa sampai tidak pulang ke rumah. 

"Iya pa. Tara keatas dulu ya." Tara menjawab dengan semangat, karena jarang sekali baginya untuk bisa menghabiskan banyak waktu bersama papanya yang super sibuk. 

Menuruti perkataan ayahnya, Tara mandi dengan cepat dan memakai kaos putih kebesaran dan celana selututnya. Setelah itu, Tara keluar dari kamarnya untuk menghampiri papa nya yang mungkin sudah menunggu di meja makan. Dan benar saja, pria paruh baya itu tampak tersenyum ketika anak semata wayangnya berjalan menghampirinya.

"Ya ampun, anak papa cantik banget. Kok papa gak sadar ya selama ini punya anak secantik bidadari?" Dimas tersenyum ketika melihat anak gadisnya yang tumbuh besar dan semakin mirip dengan ibunya.

"Papa kerja terus sih, mangkanya gak sadar." Ucap Tara dengan nada bercanda.

Dimas tersenyum tipis. Ia tau selama ini dirinya terlalu sibuk kerja dan tidak menghabiskan banyak waktu dengan Tara tapi ia bisa apa. Itu memang sudah menjadi tuntutan pekerjaannya sebagai seorang direktur perusahaan elektronik.

"Kita makan dulu ya." Ucap Dimas membalik piring keramik yang sudah tertata di meja makan.

"Tadi Tara udah makan di rumah Selatan Pa, Tara makan salad buahnya aja." Tara mengambil semangkuk salad buah yang disediakan oleh Bi Surti.

"Makan apa tadi di rumah Selatan?"

"Ayam bakar sama capcai udang. Masakan bunda Selatan mirip banget loh kayak masakan oma pa. Dan tadi kata bunda Selatan, Tara juga boleh manggil dia bunda." Tara bercerita dengan nada semangat.

Dimas tersenyum pedih. Ia tau jauh di dalam lubuk hati anaknya, pasti ada perasaan rindu pada sang ibu. Tapi mau bagaimana lagi. Istrinya itu berada di Bandung dan sudah memiliki keluarga baru sejak setahun yang lalu.

"Kayaknya mereka orang yang baik ya." Dimas tersenyum melihat putrinya bahagia setelah sekian lama murung sejak perceraiannya dengan sang istri.

"Iya, mereka baik banget. Gak kayak anaknya, nyebelin." Tara merasa kesal sendiri saat mengingat Selatan yang selalu berbuat ulah kepadanya.

"Selatan?"

"Iya. Dia suka banget gangguin Tara di sekolah." Adu Tara masih sambil memakan salad buahnya.

"Tapi tadi dia keliatan kayak anak baik kok. Mungkin dia ganggu kamu cuma untuk ngehibur kamu aja."

Tara mengerucutkan bibirnya. "Itu topengnya aja pa. Aslinya nyebelin banget orangnya."

"Awas loh nanti dari benci bisa jadi cinta." Goda Dimas sambil tersenyum jahil.

"Gak mungkin!" Bantah Tara dengan tegas.

"Eh papa tumben pulang cepet." Tanya Tara mencoba mengalihkan pembicaraan agar tidak lagi membahas Selatan. Kebetulan sekali papa nya itu baru selesai makan saat ia menanyakan hal tersebut.

"Ah iya, papa sampe lupa. Ada yang mau papa omongin sama kamu. Besok papa harus ke singapura, ada perusahaan cabang yang lagi ada masalah."

Tara menatap papanya dengan wajah sedih. "Berapa lama?"

"Paling cepat seminggu. Tapi papa pasti usahain selesai cepat. Nanti abis papa balik dari Singapur nanti kita ke tempat oma di Bandung." Dimas mencoba menghibur anaknya yang terlihat sedih.

"Janji?" Tara mengangkat jari kelingkingnya dan dibalas oleh sang papa.

"Janji."

"Yaudah, Tara mau keatas dulu ya pa. Capek, mau tidur. Papa juga langsung tidur ya, jangan begadang ngurusin kerjaan terus. Gak sehat untuk tubuh."

"Iya sayang. Sweet dream ya. Jangan lupa baca doa sebelum tidur."

Tara mengangguk sebagai balasan lalu pergi menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Dalam kamar, ia menyender di pintu dan menghela nafasnya.

"Tara kangen mama, Tara kangen kehidupan kita yang dulu." Lirih Tara yang tidak terasa telah menitikkan air mata.

TO BE CONTINUE

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SELATARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang