Semalaman Jaemin terus menangis hingga bantal dengan sprei putih lembutnya basah akan air matanya. Kelopak matanya pun membengkak dan memerah karena terlalu lama menangis, sangat menyedihkan.
Ia sudah cukup lama menjadi relawan medis di kamp dan dia juga sangat tau bagaimana situasi di perbatasan sana. Sedikit orang yang berhasil selamat dari medan pertempuran yang mematikan itu.
Walau mereka kembali hidup-hidup pun, mereka tidaklah sama seperti sedia kala. Mereka selalu kembali dengan tidak utuh akibat terkena ledakan granat, ranjau atau misil yang dijatuhkan dari udara tanpa ampun.
Dalam hati Jaemin merutuki keserakahan manusia di dunia ini sehingga timbullah perang yang menewaskan jutaan jiwa. Andai saja mereka tidak serakah dan egois, perang ini tidak mungkin terjadi.
Jeno nya akan terus bersinar, berdiri diatas panggung dengan lampu yang menyorot dirinya yang menggesek biola dipundaknya dengan lihai. Memainkan alunan melodi yang mampu membius siapapun yang mendengarnya.
Bukannya berdiri dengan balutan seragam tentara lusuh dan memegang senapan.
Jaemin tidak buta, ia melihat banyak luka ditangan serta wajah tampan lelaki itu. Jaemin tidak bodoh untuk tidak menangkap sorot ketakutan ketika Jeno mengatakan bahwa ia akan ditugaskan ke perbatasan.
Tapi lelaki itu selalu menutupinya dengan senyuman, berkata padanya, "aku akan kembali, Na. Tunggu aku. Setelah aku kembali dari perbatasan, aku akan datang padamu dengan sekotak cincin. Lalu kita akan menikah di musim semi, dimana bunga Sakura akan bermekaran indah. Dan aku akan memainkanmu sebuah lagu, lagu yang ku tulis hanya untukmu. Orang terkasihku."
Rentetan kalimat itu terus menggema dikepalanya. Harusnya ia merasa senang, namun rasa takut dan cemas lebih mendominasi perasaannya sekarang. Membuatnya sangat kalut dan rasanya begitu sesak.
Ia takut, ia takut jika harus kehilangan Jeno.
Dunianya.
Namun kegiatan menangisnya terhenti ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya, disusul oleh teriakan ibunya yang memanggilnya untuk segera keluar dari kamar.
Tidak tahukah ibunya jika hari ini Jaemin ingin menangis seharian penuh sebelum akhirnya kembali mengantar Jeno ke medan perang sore nanti?
"Jaemin! Cepat keluar dan makan siang!" teriakan ibunya kembali terdengar.
Jaemin mengerang kesal, "aku tidak mau, ibu!" Balasnya dengan suara serak; khas suara orang yang sehabis menangis. Bahkan wajah Jaemin terlihat mengerikan dengan kelopak matanya yang sembab dan basah akan jejak air mata.
"Ada Jeno disini!" Dan ketika nama Jeno terdengar olehnya, tanpa pikir panjang ia segera beranjak dan berlari keluar dari kamarnya, mengabaikan ibunya yang terkejut setengah mati, Jaemin langsung berlari menuju dapur.
Benar saja, Jeno berada disana. Tengah menyiapkan piring dan peralatan makan untuk mereka bertiga, karena ayahnya sedang tidak ada, jadilah hanya dirinya, ibunya dan Jeno yang akan makan siang bersama.
Dengan langkah lebar Jaemin menghambur memeluk Jeno dari belakang dengan erat.
Sedangkan yang mendapat pelukan secara tiba-tiba itu hampir saja menjatuhkan gelas kaca ditangannya karena terlalu terkejut.
Jeno tersenyum kecil, ia meletakkan gelas itu diatas meja dan mengusap tangan Jaemin yang melingkar dipinggangnya dengan lembut menggunakan ibu jarinya.
"Ada apa, Na? Kau mengagetkanku." Ujar Jeno. Jaemin tidak menjawab, ia malah semakin membenamkan wajahnya pada punggung tegap sosok itu, tidak peduli jika kemeja yang digunakan lelaki itu akan basah karena air matanya. Ia hanya ingin memeluknya, menyamankan diri bersandar pada punggung lebar sang pemain biola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Na Jaemin, 1957 | NOMIN
Fanfiction"Ini kisahku, yang mencintai seorang pemain biola terkenal bernama Lee Jeno." -Na Jaemin, 1957. complete ✓ a nomin fanfiction! BxB! Homophobic? Go away! #3 jenojaemin out of 391 stories [11092022] 𝑱𝒂𝒆𝒙𝒎𝒏𝒏𝒂.