Dentuman

2.4K 476 19
                                        

Jaemin tertawa melihat betapa konyolnya Haechan dan Renjun yang bermain tanah di pekarangan belakang rumahnya. Mereka sekarang tengah berkebun, membantu ibu Jaemin untuk menanam beberapa sayuran.

"HAECHAN! KAU JOROK SEKALI!" Teriakan Renjun menggelegar di sore hari itu ketika Haechan dengan sengaja mengusap wajah Renjun dengan tangannya yang penuh tanah.

Haechan terbahak, "Hahaha, kau terlihat jelek sekali Huang Renjun." Renjun melempari Haechan dengan segenggam tanah membuat lelaki tan itu berlari. Jaemin yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kedua sahabatnya yang selalu meributkan hal yang tidak penting.

"Hentikan kalian berdua. Lebih baik cepat selesaikan ini dan mandi. Kalian mau melewatkan makan malam?" Dan ucapan dari ibu Jaemin yang kini berdiri diteras belakang rumah dan berkacak pinggang mampu membuat Haechan dan Renjun mengehentikan acara kejar-kejaran mereka.

"Ya, ibu, kami akan selesai sebentar lagi." Sahut Jaemin lantas segera beranjak dan menepuk telapak tangannya yang kotor.

"Cepatlah, sebentar lagi ayah dan kakak mu pulang." Setelah berujar demikian ibu Jaemin kembali memasuki rumah, meninggalkan Jaemin dan teman-temannya.

Jaemin berbalik kearah Haechan dan Renjun, "Kalian masih ingin ribut? Lebih baik kita mandi sekarang."

•••

Suara gelak tawa mengisi ruang makan yang hangat itu, Haechan tak henti-hentinya melontarkan candaan dan sesekali menjahili Renjun disebelahnya dan menimbulkan gelak tawa dari Jaemin dan sang ibu.

"Ibu, dimana kakak dan ayah? Kenapa mereka belum pulang?" Tanya Jaemin. Ibunya menenggak air dari gelas kacanya sebelum menjawab, "Ayahmu ada urusan penting di kantornya dan kakakmu tentu saja menunggu disana."

Jaemin mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ibunya beranjak, membawa piring kotor bekas makan malam. Si bungsu Na itu berinisiatif membantu ibunya mencuci piring dan peralatan masak yang lain. Sedangkan Haechan dan Renjun membantu membersihkan meja makan.

Setelah usai mengerjakan urusan dapur dan ruang makan, kini nyonya Na beserta sang putra dan kedua temannya itu berkumpul di ruang tengah.

Siaran berita dari radio usang itu menemani mereka. Hingga tiba-tiba penyiar radio memberitakan bahwa terjadi penyerangan diperbatasan.

Panik pun melanda.

Kemudian suara dentuman terdengar begitu nyaring memekakan telinga. Bahkan tanah pun ikut bergetar saking dahsyatnya dentuman itu. Jantung Jaemin berpacu semakin cepat, dengan panik ia segera merapat kearah sang ibu dan kedua temannya yang tidak kalah paniknya.

"S-suara apa itu tadi? Apa ada gempa?" Tanya Haechan ketakutan.

Brakk!!

Pintu kayu itu dibuka paksa, ayah dan kakak Jaemin kembali dengan raut wajah super kacau, dapat Jaemin lihat dari ekspresi mereka jika terjadi sesuatu hal yang buruk.

"Lyra meluluh lantakan perbatasan. Para tentara disana tewas dan pemerintah mengajukan untuk menambah jumlah pasukan dengan membawa satu perwakilan anak laki-laki dari tiap keluarga."

•••

Jaemin menerobos kerumunan, berusaha meraih posisi depan guna mencari sebuah nama dari deretan nama yang tertulis disebuah kertas besar yang tertempel di pusat informasi kota.

Manik rubahnya meneliti satu persatu nama yang tertulis disana. Berusaha tidak menemukan nama yang ia cari.

Namun harapannya pupus seketika saat sebuah nama tertulis disana.

Lee Jeno.

Jaemin berjalan mundur dengan lunglai dan menjauhi kerumunan. Seketika perasaan buruk menyelimutinya. Berbagai macam kemungkinan melintas di benaknya. Bagaimana jika Jeno ditugaskan di perbatasan? Bagaimana jika—

"Jaemin?" Jaemin terlonjak keget begitu sebuah suara yang amat dikenalnya terdengar dari belakang. Dan benar saja, ketika ia berbalik, ia langsung disuguhkan wajah seseorang yang sedang dipikirkannya.

"Jeno?" Gumam Jaemin pelan. Jeno tersenyum, "Hai, lama tidak bertemu."

Jaemin memaksakan sebuah senyum, "Ya.. lama tidak bertemu."

"Apa yang kau lakukan disini? Apa ada namamu tertulis disana?"

Sebuah gelengan Jeno dapatkan, "Tidak. Tapi.. namamu—"

"Namaku ada disana." Tukas Jeno, ia tersenyum kecil. "Aku akan menjadi tentara. Seperti kakakku."

Tanpa sadar Jaemin menggeleng ribut, air mukanya terlihat begitu panik membuat Jeno heran, "Tidak.. jangan seperti kakakmu.."

Butuh beberapa detik hingga Jeno menangkap maksud perkataan Jaemin. Tangannya terulur mengusak surai kecoklatan Jaemin lembut, "Tidak usah mengkhawatirkanku."

"Bagaimana aku tidak khawatir?" Jaemin berujar lirih, manik rubahnya berkaca-kaca, "Kenapa namamu ada disana? Harusnya—"

"Ayahku yang menyuruh, aku bisa apa?"

"Tapi kau bisa menolak!"

Jeno tersenyum lembut, kedua matanya menghilang dibalik lengkungan bulan sabit yang indah, "Kau jangan khawatir, Jaemin. Nama Minhyung juga ada disana, jadi aku tidak akan sendirian. Lagipula ayahku bilang kami hanya ditugaskan dibelakang, dan tentara lama yang akan terjun diperbatasan." Jelasnya.

Jeno menangkup wajah Jaemin, ibu jarinya mengusap sudut mata Jaemin yang basah karena air mata yang mulai menetes, "Tidak usah khawatir."

Tangis Jaemin pecah, isakan tangisnya mulai terdengar, "Kau hanya tau tentang musik dan biola. Tau apa kau tentang senjata dan medan perang?" Racaunya disela isakannya.

Jeno tertawa ringan, "Well, asal kau tau. Aku cukup mahir dalam menembak."

"Jangan menangis. Aku berjanji, akan sering mengirimimu pesan." Ujar Jeno, "..dan aku akan kembali padamu."

Tbc.

Wow..
Udah berapa lama aku anggurin book ini?:'D

Oh iya, ini gak berdasarkan sejarah beneran ya, aku ngambil latarnya dari film wonder woman.. ya semacem itulah:D

Na Jaemin, 1957 | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang