Jangan Mati

2.4K 452 16
                                    

Pagi hari itu Jaemin mengambil cuti untuk menjadi relawan medis. Senyum tak henti-hentinya tersungging diwajah manisnya ketika tangannya sibuk berkutat menyiapkan bekal untuk dirinya dan Jeno berpiknik sebentar lagi.

"Kau terlihat senang sekali, mau kemana?" Tanya ibunya yang baru saja kembali dari kebun belakang rumah.

"Memancing dengan Jeno."

"Oh? Si pemain biola tampan yang sering kau ceritakan pada ibu?" Jaemin mengangguk antusias.

"Dia sudah kembali dari kamp pelatihan?"

"Sudah, dua hari yang lalu. Dan dia mengajakku memancing hari ini sebelum ia bertugas."

Ibunya meraih kotak bekal yang masih kosong dan mengisinya dengan beberapa potong buat yang sudah dikupas sebelumnya, "Kapan Jeno akan ditugaskan?"

Helaan nafas berat lolos dari hidung bangir si bungsu, "Seharusnya masih dua pekan lagi. Tapi karena situasi darurat, Jeno harus pergi besok."

"Jangan sedih, lebih baik kau gunakan hari ini untuk bersenang-senang bersama Jeno." Ujar ibunya lembut. "Ibu benar. Hari ini aku akan bersenang-senang bersama Jeno."

•••

Semilir angin menerbangkan dedaunan kering yang berjatuhan menutupi jalan setapak. Pun dengan helaian poni karamelnya berkibar tertiup angin.

Melirik ke samping dimana seorang lelaki yang ia kagumi selama ini terlihat fokus mengaitkan umpan sebelum melemparnya ke tengah danau.

"Kenapa? Kau lelah?" Tanya Jeno saat mendapati Jaemin yang terus-terusan menatap kearahnya.

Jaemin menggeleng, "Tidak."

"Lalu?"

"Aku hanya ingin berlama-lama melihat wajahmu sebelum aku siap untuk merindukanmu."

Ahh, tidak tahukah Jaemin jika perkataannya barusan mampu membuat rona samar tercetak diwajah tampan itu? Dengan gugup Jeno memalingkan wajahnya ke depan, memfokuskan diri dengan alat pancing ditangannya.

Jaemin terkekeh tanpa suara, "Kau bisa malu-malu juga ternyata."

"Kau pun bisa agresif juga ternyata." Balas Jeno yang masih enggan untuk menatap kearah Jaemin.

Tawa Jaemin mengudara. Ia meletakkan alat pancingnya setelah memberi ganjalan seperti yang Jeno ajarkan padanya sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya diatas rerumputan hijau, memandangi langit yang terlihat begitu cerah.

"Jeno.."

"Hm?"

"Berjanjilah padaku."

"Apa?"

Hening beberapa saat sebelum Jaemin melanjutkan, "...jangan mati."

Jeno tertegun mendengarnya, "Aku berjanji."

"Terluka pun tidak masalah, asal—" suara Jaemin tercekat, matanya memanas seketika, dadanya merasa sesak memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada Jeno, "—jangan mati.." suaranya melirih.

Jeno meletakkan alat pancingnya, kemudian menarik tubuh Jaemin agar duduk dihadapannya.

"Jaemin, dengarkan aku." Ia menggenggam kedua tangan Jaemin erat, "aku tidak akan mati. Aku sudah berjanji akan kembali padamu, bukan?" Jaemin mengangguk kecil.

Jeno mengulas sebuah senyum, "jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku juga berjanji padamu untuk terus mengirimimu surat."

"Tapi tetap saja.. aku khawatir."

Tangan Jeno terulur ke puncak kepala si bungsu keluarga Na dan mengelusnya lembut, "aku hanya bertugas di belakang. Tidak akan terjadi hal yang buruk, Jaemin. Percaya padaku."

Akhirnya Jaemin memilih untuk mengangguk, walaupun dihatinya masih ada sepercik ketidak relaan melepas Jeno pergi ke medan perang.

Baru saja Jaemin ingin menimpali perkataan Jeno, pancing miliknya bergoyang beberapa kali membuatnya berseru panik, "Jeno!! Pancingku bergerak!!" Pekiknya.

Jeno pun sontak menoleh dan segera meraih pancing milik Jaemin dan menyentaknya ke atas dengan cepat. Senyum lebar tercetak diwajah keduanya saat seekor ikan yang berukuran cukup besar berhasil tertangkap oleh pancing milik Jaemin.

"Wahh, ini besar sekali." Gumam Jeno lalu memasukkannya ke dalam ember yang sudah Jaemin siapkan sebelumnya.

"Jen, mau makan dulu?" Tawar Jaemin.

"Boleh. Sebentar, aku memasang umpan dipancingmu dulu." Jaemin mengangguk kecil kemudian menyiapkan bekal yang dibawanya dari rumah untuk menu makan siang keduanya.

Tak lama Jeno pun duduk dihadapannya dengan tatapan berbinar melihat beberapa hidangan yang disiapkan Jaemin, "kau menyiapkannya sendiri?"

Jaemin mengangguk bangga, "tentu saja."

Jeno mengambil beberapa lauk dan mencicipinya, "wahhh, ini enak!"

"Astaga, apa yang tidak bisa kau lakukan? Kelihatannya kau bisa melakukan apa saja. Bahkan masakanmu sangat enak, seperti masakan ibuku." Celoteh Jeno dengan mulut penuh makanan.

"Memilikimu." Cicit Jaemin pelan.

"Apa?"

Jaemin menggeleng ribut, "bukan apa-apa. Setidaknya telan dulu makananmu sebelum berbicara, Jeno."

Jeno menurut, dan setelahnya tidak ada percakapan berarti karena keduanya fokus menyantap makan siang mereka.

Ah, sungguh.. Jaemin tidak ingin hari ini cepat berakhir.

15 Agustus 1955
Tidak ku sangka jika acara memancing yang ku kira akan membosankan ternyata sangat menyenangkan dengan adanya Jeno disisiku.

Tbc.

Na Jaemin, 1957 | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang