Déjà Vu

16 1 0
                                    

Itu adalah sebuah pigura kecil yang berisi foto semasa kecilku, kenangan bersama orang yang sangat ku cintai yang kini telah tiada, beliau sudah pergi dari hidupku untuk selama-lamanya. Itu adalah ayahku. Aku yang masih berumur 7 tahun tersenyum gembira dengan rambut yang dikepang dua bagian sebelah kanan dan kiri bersama ayah. Beliau pun memasang senyumannya yang sangat manis.

Air mataku mengalir deras, nafasku tersenggal-senggal. Semua kebenaran ini membuatku tidak dapat melakukan apapun selain menangis seperti bayi. Makam yang kucari bukanlah makam kak Ellen. Itu adalah makam ayahku, sosok yang sangat penting dan sangat kucintai dalam hidupku. Kenyataan bahwa aku tidak dapat menerima Ellen sebagai kekasih Reva, membuatku kehilangan akal sehat.

Ibuku mengirim dan menerima pesan dari Reva sejak 3 hari terakhir tanpa sepengetahuanku. Dia menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres denganku. Dia mulai khawatir pada hari pertama minggu ini saat aku berangkat sekolah, tanpa kusadari aku mengucapkan salam kepada ayahku. Lalu tadi pagi, ibu menelpon Reva untuk mengajaknya pergi ke makam.

Reva merasa bersalah dan memelukku dengan erat sambil menangis meminta maaf kepadaku, dan Ellen dengan sikap menjengkelkannya, seolah acuh tak acuh. Tetapi, dibalik sifatnya yang sedingin kutub utara, ia menyimpan sejuta kehangatan dibalik lebatnya embun salju yang menutupinya.

"Dengar, aku minta maaf." Tiba-tiba Ellen mendekati kita berdua.

"..." Aku dan Reva saling menatap sambil tersenyum, berpura-pura mengacuhkan Ellen selama beberapa saat.

"Baiklah kalau be-"

"Ya ya, tentu saja..." aku menyelanya dengan nada yang menyebalkan.

"Kau seharusnya mengatakannya dari tadi!" Reva mengatakannya dengan sedikit membentak.

"...Lagipula ini bukan kesalahan kalian kan?" meski begitu, mereka tetap saja meminta maaf kepadaku.

In Memory Of

Mark Johansen

May 11, 1959 - September 23, 2009

Setelah tangisanku reda, kami berempat membersihkan makam ayahku. Kemudian menghiasinya dengan bunga yang kubawa, lalu mendo'akannya.

"Memori merupakan sebuah proses rekonstruksi, bukan sekedar mengingat. Detail yang hilang atau celah pada memori melibatkan proses persepsi yang kemudian secara perlahan diisi dengan memori palsu yang berasal dari cerita yang disampaikan oleh seorang figur otoritas. Informasi ini diterima sebagai hal yang benar dan selanjutnya memengaruhi memori yang telah tersimpan di pikiran bawah sadar. Saat informasi ini diterima sebagai hal yang benar maka Zika secara tidak sadar melakukan revisi terhadap memori sehingga sejalan dengan informasi yang Zika terima dari figur otoritas, yaitu Reva." Ibuku menjelaskan sambil mengusap air matanya.

"Ternyata ibu memang dapat membaca pikiranku."

"Itulah pekerjaanku sayang." Dia bergurau.

"Sekarang aku menyadari sesuatu. Lagipula tidak mungkin seorang laki-laki 17 tahun mencintai seorang anak berumur 7 tahun hingga menciumnya di bibir, bukan begitu?"

"Tidak... Itu mungkin saja, kalau dia pedophile."

"Ibu harus melaporkannya ke pihak terkait kalau begitu." Sinisku.

"Itu juga tidak dapat kulakukan."

"Aku mengerti." Fakta bahwa ingatan bisa diubah punya implikasi tersendiri. Jika itu memang terasa nyata bagiku, hal tersebut memanglah nyata. Karena hal tersebut, maksudku kak Ellen telah mengambil peran dan menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak pernah bertemu dengan Ellen kecil, itulah kenapa aku menyebutnya dengan sebutan "kak" dan menggambarkannya sebagai seorang remaja.

NovemberainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang