WILL'S POV
Setelah sarapan pagi, aku dan Matt segera berangkat menuju ke makam orang tuanya yang terletak di selatan luar kota New York, tempat yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, sepanjang mata memandang terdampar hamparan padang rumput nan hijau dengan biru langit yang menaungi. Mobil kami melewati jalanan lurus hingga berkelok yang membelah rimbun pepohonan. Aku merasakan sapuan angin yang bersemilir mengenai wajahku di kaca jendela. Rasa sejuknya sampai menerpa hati.
Matt pernah mengatakan padaku begitu ia menyelesaikan pekerjaannya di California, dia berencana membangun rumah di pedesaan untuk kami menetap selamanya di sana. Dan tentu aku sangat menanti hari itu. Aku selalu bermimpi menghabiskan hidupku bersama pria yang kucintai di sebuah pedesaan yang tentram.
Setibanya kami di tujuan, Matt menuntun tanganku melewati deretan makam menuju makam orang tuanya. Masing-masing kami memegang setangkai mawar putih. Matt bilang bunga itu adalah lambang cinta kedua orang tuanya semasa hidup. Matt lebih dulu kehilangan ayahnya saat di usia 10 tahun. Dan ibunya meninggal setahun sebelum Matt memutuskan untuk menikahiku.
Matt pernah mengatakan kalau ia merasa menyesal karena mengulur waktu terlalu lama untuk memantapkan hatinya. Dia berharap sang ibu yang selalu mendukung hubungan kami sempat melihat dirinya bersamaku di atas altar. Ya, selama aku mengenal ibunya, wanita itu sangat baik kepadaku. Bahkan rasanya seperti menggantikan sosok ibu yang tak pernah kutahu. Aku sangat sedih tak melihat kehadirannya di hari pernikahan kami.
Aku dan Matt membungkuk bersamaan meletakkan tangkai bunga di tangan kami ke atas makam kedua orang tuanya. Sebelum meninggal, ibu Matt berpesan agar dirinya disemayamkan di satu makam yang sama dengan mendiang suaminya.
Tubuh bergerak mendekati Matt yang terhenyak mengusap batu nisan di ujung makam kedua orang tuanya. Aku melihat air mukanya yang membendung duka. Begitu satu tanganku menyentuh bahunya, tubuh Matt bergetar meluapkan tangis. Wajahnya membenam di batu nisan itu. Aku menjatuhkan lututku di sebelahnya dan mengusap lembut punggungnya.
Aku tak mengatakan apapun dan membiarkan Matt meluapkan kesedihannya. Aku bisa merasakan dukanya. Kutahu pasti tak mudah untuknya melepas kepergian orang tuanya. Terlebih sang ibu yang sempat membesarkannya. Matt memiliki lebih banyak kenangan dengan mendiang ibunya.
"Maafkan aku ...."
Kudengar Matt berucap di tengah isak tangisnya. Dan entah mengapa, di saat yang sama firasatku seakan merasakan keanehan. Seperti ada sepasang mata yang sedang memerhatikan kami. Sengaja aku menarik perhatianku dari Matt, dan menebarkan pandang melihat-lihat sekeliling kami.
Tak ada orang lain selain aku dan Matt di pemakaman ini. Suasana di sekitar kami terlihat sepi. Namun, sungguh aku merasa seperti ada yang memerhatikan kami barusan.
"Ada apa?"
Aku tersentak kaget ketika Matt bersuara. Kulihat ia sudah selesai dengan tangisannya.
"Tidak ada." Aku menyimpul senyum menyamarkan ketakutan yang tiba-tiba saja membuat tubuhku meremang. Entah mengapa aku merasakan aura yang berbeda. Instingku menangkap sesuatu yang tak biasa.
"Kau ingin pergi sekarang?" Matt bertanya dengan sisa-sisa air mata yang membekas dalam tatapannya.
"Kau sudah selesai?"
"Ya, kita bisa pergi sekarang."
Senyumku melengkung tipis menyamarkan firasat tak mengenakan di tempat itu. Namun, sebelum beranjak, aku menyentuh batu nisan kedua orang tua Matt, dan telapak tanganku menyapu lembut ukiran nama mereka yang terpatri di nisan itu. Setelah itu, aku dan Matt segera beranjak dari bukit itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betrayal
Short StoryTAMAT. [Short Story] Will mengira hidupnya bak sebuah novel romansa dengan akhir yang membahagiakan. Namun, ternyata sosok antagonis itu memainkan peran di belakangnya. ᴘᴜʙʟɪꜱʜᴇᴅ: ᴏᴄᴛ 31/20