WILL'S POV
Aku melihat Matt berdiri di hadapanku di atas altar yang dipenuhi hiasan bunga. Balutan tuxedo berwarna putih membuatnya sangat rupawan ketika itu. Senyumannya yang memukau terus terpatri di wajahnya. Kebahagiaan itu terpancar dari sorot matanya.
Aku bisa merasakan sukacita semua orang yang hadir di pernikahan kami. Semua orang bertepuk tangan dengan meriah setelah aku dan Matt bertukar cincin. Aku melihat wajah Zach di barisan kursi tamu menatap ke altar dengan wajah amat berseri-seri.
Matt mengulurkan tangannya meminta agar aku menggenggamnya. Dengan senyum yang terus merekah, kuraih tangan itu dan mengeratkan genggamanku sepenuh hati. Setelahnya kaki kami bergerak menuruni altar. Namun, tiba-tiba saja seperti ada sesuatu yang menjegal langkahku. Sontak genggamanku terlepas dari tangan Matt dan tubuhku tersungkur dengan wajahku lebih dulu menghantam tanah.
Kelopak mataku lantas membuka lebar. Aku merasakan sesuatu menembus mulutku sampai ke tenggorokan. Benda itu membuat mual dan tersedak. Tubuhku terasa kaku, dan seperti ada sesuatu yang membungkus leherku. Di saat itu juga aku mendengar suara jeritan seseorang yang tak bisa kukelola dengan jelas di benakku.
Tak lama, kulihat seorang pria berpakaian dokter dan seorang perawat datang menghampiriku. Mereka memintaku untuk tenang. Dokter itu dengan hati-hati mencoba melepas benda seperti selang yang menyeruak ke dalam kerongkonganku. Bola mataku bergerak-gerak dan tak sengaja mendapati Zach berdiri di dekatku dengan wajah cemas.
Aku menarik napas dalam-dalam setelah sempat kesulitan bernapas. Rasa mual itu masih terasa di tenggorokanku. Kemudian dokter itu menyorot lampu senter yang menyilaukan ke bola mataku sembari memanggil-manggil namaku.
"Kau baik-baik saja, Will. Kau berhasil melewati masa kritismu," ucap dokter itu dengan antusias. Pendengaranku perlahan menjadi lebih peka dan otakku bisa mengolah kata yang kudengar.
Butuh beberapa jam untukku menyesuaikan diri dengan kondisi tubuhku yang terluka parah. Aku mengalami patah leher dan retak di bagian rusuk kananku. Bola mataku bergerak melirik Zach di sisi ranjangku. Dia duduk di sana dengan wajahnya yang iba. Aku tahu dia pasti sangat mencemaskanku.
"Sudah hampir sebulan aku menantimu terbangun dari tidur panjangmu." Zach bersuara dengan lirih.
Aku nyaris tak percaya apa yang barusan Zach katakan. Aku tak merasa diriku tertidur selama itu. Dan aku ingat sedari tadi aku tak melihat Matt berada di ruangan yang sama denganku.
Dengan susah payah aku bertanya pada Zach. "D—Di mana ... M—Matt?"
Kutangkap air muka Zach seketika berubah. Dia lantas memalingkan wajahnya dariku. Firasatku merasa curiga melihat reaksinya.
"Z—Zach ... jawab a—aku." Desakku setengah mati untuk mengucap sepatah kata.
"Aku tak bisa mengatakannya padamu sekarang." Zach memandangku dengan raut ketir. Suaranya terdengar gemetar ketika berbicara denganku.
"A—Apa yang terjadi?" aku sungguh khawatir mendengar ucapan itu. Tak terasa air mataku berderai lantaran tak mengetahui keberadaan Matt.
"Aku tak ingin membuatmu semakin terluka." Tatapan Zach berkaca-kaca.
Melihat air mata Zach berderai, tangisku menjadi isak yang memilukan. Hatiku benar-benar hancur. Tak sanggup kukatakan bagaimana rasanya kesedihanku. Dadaku benar-benar sesak menahan pilu. Bahkan rasanya aku tak sanggup untuk bernapas. Kuharap ini adalah mimpi buruk yang kemudian akan membuatku benar-benar terbangun ke dunia nyataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betrayal
Short StoryTAMAT. [Short Story] Will mengira hidupnya bak sebuah novel romansa dengan akhir yang membahagiakan. Namun, ternyata sosok antagonis itu memainkan peran di belakangnya. ᴘᴜʙʟɪꜱʜᴇᴅ: ᴏᴄᴛ 31/20