WILL'S POV
Pertama kali aku melihat Matt, aku sangat malu untuk mendekatinya. Aku hanya berani menatapnya ketika ia tak melihatku. Dan kupikir, saat itu Matt pun tak pernah menyadari keberadaanku. Aku seperti sosok asing yang tak perlu dipedulikannya.
Namun, siapa mengira entah keajaiban apa yang membuatnya lebih dulu mendekatiku. Seingatku, kala itu sekolah kami mengadakan lomba memasak untuk acara amal. Dan aku menyertakan diri dalam lomba itu. Kebetulan memasak memang menjadi hal yang kusukai. Juru masak di panti asuhanku yang mengajariku memasak. Dan aku terbiasa membantunya menyiapkan makanan untuk anak-anak yang lain.
Dalam lomba itu, semua orang dipersilahkan mencicipi masakan yang kami buat untuk dinilai. Dan tak kusangka Matt memilih masakan buatanku untuk dicicipinya. Aku ingat bagaimana ekspresinya ketika itu. Dia terlihat tak menyukainya. Rasanya aku malu sekali dan sangat kecewa melihat reaksinya.
Namun, begitu kami saling mengenal, Matt mengakui kalau ia berpura-pura ketika itu. Dari semua makanan yang dicicipinya, menu yang kuhidangkan adalah yang paling lezat. Padahal kalau kupikir saat itu aku hanya membuat roti isi tuna dengan bumbu rahasia yang kupelajari dari juru masak di panti asuhanku.
Sejak itu Matt seringkali mengajakku ke rumahnya dan memintaku memasakan sesuatu untuknya. Singkat cerita, Matt jatuh hati padaku karena masakanku. Bahkan sampai sekarang dia jarang sekali membeli makanan di luar dan memintaku memasak untuknya. Matt seringkali berseloroh agar aku ikut lomba memasak yang ditayangkan stasiun televisi.
Ya, mungkin aku akan mencobanya.
Aku menghadapkan wajahku menatap Matt di sebelah kiriku dengan kedua tangannya yang memegang kemudi. Sadar aku sedang memerhatikannya, sepintas Matt mengalihkan perhatiannya padaku.
"Kenapa kau tersenyum begitu?" Matt melirikku dengan malu-malu.
Aku tak bersuara selain senyumku tak henti merekah selagi memandanginya. Tak lama aku sedikit bergeser mendekatinya, lalu kuberi ia kecupan lembut dipipinya. Matt tertawa manis. Wajahnya terlihat memerah. Aku senang ketika melihatnya yang merasa canggung dengan rayuanku.
"Wajahmu memerah," godaku.
"Tidak mungkin." Matt menampik dengan tawa.
"Aku melihatnya." Aku menunjuk-nunjuk wajahnya dengan seringai yang menggoda.
Matt tertawa tanpa bisa berdalih apapun.
"Aku mencintaimu, Will." Dengan manis Matt mengungkapkan perasaannya padaku.
"Berjanjilah kau akan selalu bersamaku," pintaku lembut memandanginya di hadapan kemudi.
Tak sempat aku mendengar jawaban dari Matt, sesuatu yang sangat buruk dengan cepat terjadi. Aku tak bisa membayangkan rasa takut dan panik yang melesat di benakku. Hal terakhir yang sempat kulihat dan kurasakan adalah saat mobil kami membentur pagar pembatas begitu kuat. Tubuhku terhempas ke sana kemari sewaktu mobil kami berputar berkali-kali menghantam badan jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Betrayal
Short StoryTAMAT. [Short Story] Will mengira hidupnya bak sebuah novel romansa dengan akhir yang membahagiakan. Namun, ternyata sosok antagonis itu memainkan peran di belakangnya. ᴘᴜʙʟɪꜱʜᴇᴅ: ᴏᴄᴛ 31/20