Plan dan Mean perang dingin. Ini berlangsung sudah hampir seminggu. Mean tak tahan lagi. Ia paling tak suka didiamkan oleh siapa saja. Beberapa kali ia mencari kesempatan untuk berbicara dengan Plan secara langsung, tapi ia tak pernah bisa menemukannya.
Plan sangat sibuk akhir-akhir itu; ikut seminar, rapat, dan bolak-balik mendaftarkan teman-temannya dalam pelatihan berkala dengan tim luar negeri dan masih banyak lagi. Semuanya berhubungan dengan kegiatan klubnya.
Sekarang Mean sadar bagaimana perhatian Plan itu tidak hanya untuk dirinya. Ia memang sangat tegas dan disiplin kepada semua anggota sepak bola. Mean terlalu percaya diri jika ia merasa Plan memperlakukannya istimewa.
Tidak apa-apa. Ia pikir, ia masih punya kesempatan untuk berbicara dengan Plan pada akhir Minggu saat ia akan kontrol kembali ke rumah sakit. Sayangnya itu tidak terjadi sebab yang mengantarnya adalah Sammy dam Yacht dan saat Mean bertanya kepada Sammy tentang Plan, ia menjelaskan bahwa Plan harus ikut rapat dengan pelatih dan bertemu dengan komite sepak bola di balai kota.
Mean semakin sedih. Sekarang sudah hampir tiga minggu. Ia masih belum bicara dengan Plan. Plan memamg masuk ke dalam kelas untuk belajar, tapi ia tak punya kesempatan untuk bicara dengannya.
Pernah Plan mendatangi bangkunya. Mean bahagia. Ia siap bicara. Namun, ternyata, Plan sama sekali tak melihat kepada dirinya yang jelas-jelas berada di samping Perth.
Ia hanya berbicara dengan Perth tentang formulir isian pendaftaran Pelatihan berkala dengan tim Brazil. Setelah itu, ia pergi begitu saja dengan membawa satu formulir lagi bertuliskan nama Mark.
Mean tidak menyerah. Ia tahu bahwa pada malam hari biasanya Plan akan berada si klub dan merapikan ruangan serta membawa baju kotor anggota klub untuk laundry. Ia pikir mungkin ia bisa berbicara dengan Plan di sana.
Mean berjalan menuju klub malam itu. Ia memasuki klub dan mendapati ruangan itu sangat rapi dan melihat tas Plan masih ada di salah satu bangku. Ia tersenyum. Pasti Plan tengah melakukan laundry di belakang klub. Mereka memiliki mesin cuci sendiri di dekat kamar mandi klub di sebuah ruangan yang cukup luas untuk menjemur dan beristirahat. Di sana ads sebuah ranjang kecil yang sering digunakan oleh anggota untuk tidur sebentar saat sakit atau lelah. Kadang-kadang, ranjang itu digunakan untuk pijat juga oleh anggota sepak bola.
Mereka memang memiliki semuanya sendiri, termasuk persediaan obat, bahkan dapur. Memang sangat kecil,tapi layak untuk digunakan dan sangat fungsional setidaknya untuk menghangatkan makanan dan mendidihkan air. Hanya beberapa orang yang memiliki kuncinya dan Plan adalah salah satunya.
Nah, anak sepak bola sering memanggil ruangan ini The locker sebab sangat praktis dan memuat semuanya.
Mean berjalan ke arah the locker perlahan. Ia kemudian menghentikan langkah kakinya saat mendengar lenguhan. Jelas, itu suara Plan.
"O, Baby, so good!" desah sang lelaki. Mean mengintip dari belakang lemari dan itu God, pacar Plan. Mereka tengah bercinta. Kaos latihan sudah tergantung rapi pada jemuran dan colokan mesin cuci sudah dicabut dari stop kontaknya. Artinya tugas Plan sudah selesai.
"God, sudah, nnggh, kau gila! Kita tak boleh melakukannya di sini, nnnngh," desah Plan sambil meringis karena God menggoyangnya semakin kencang.
Mereka hampir telanjang dan sekali lagi Mean dapat menikmati tubuh Plan yang mulus itu setelah di Jepang, meski saat ini hanya melalui tatapan.
"Uuuungh, mmmmmph, aaaaah," desah Plan panjang dan ia membekap mulutnya sendiri.
"Buka! Aku ingin mendengarnya," bisik God sambil masih menggoyang dan menarik tangan Plan dari mulutnya. Wajah Plan memerah karena malu.
"Kau cantik sekali! Rak na, Plan," desah God dan ia menyodokkan naganya semakin dalam.
Mereka berciuman lagi. Tak lama kemudian, mereka sama-sama mencapai orgasmenya. Mereka berciuman dan kemudian merapikan dirinya.
"Kau tak apa-apa?" tanya God saat Plan hanya diam.
"Hanya merasa bersalah karena kita menggunakan ruangan ini untuk hal pribadi," sahut Plan. Jiwa manajernya lebih mendominasi. Mean yang sejak tadi mengamati diam-diam langsung menyunggingkan senyuman.
"O, Babe, maafkan aku! Lain kali aku akan menahannya dan tak akan melakukannya di sini. Aku janji. Tadi aku tak tahan. Kita lama tak bertemu dan tak bercinta. Aku terlalu rindu," sahut God. Ia mengelus kepala Plan dan kemudian memeluknya seraya meminta maaf lagi.
"Lain kali, kita tak boleh melakukan di sini," ujar Plan lagi masih cemberut.
"Iya, lain kali kita pergi ke hotel saja, na!" sahut God sambil tersenyum.
"Uhm," gumam Plan sambil menganggukkan kepalanya.
"Kita pulang," ujar God.
"Iya," sahut Plan sambil tersenyum manis.
Mean gagal lagi. Ia tak bisa berbicara dengan Plan.
Usahanya yang terakhir adalah mendatangi rumah Plan. Setelah meminta alamat dari Perth,ia datang bertandang dan menganga saat ia berdiri di depan sebuah rumah mentereng.
Dia mengembuskan napasnya. Tak menyangka kalau Plan benar-benar anak orang kaya. Pelayannya saja berjumlah puluhan. Tetapi, di sekolah ia tak pernah menunjukkan bahwa ia dari kalangan atas.
"Maafkan aku!" sahut Mean memulai percakapan ketika akhirnya mereka bertemu di kamar Plan. Salah satu pelayannya yang membawanya ke sana.
"Sudahlah! Lupakan saja!" ujar Plan lagi.
"Kau tak marah lagi kepadaku," sahut Mean memastikan.
"Aku hanya kesal. Kau tak paham. Kau salah satu pemain dengan bakat dan keterampilan terbaik dalam sepak bola. Karirmu akan cemerlamg jika saja kau lebih sadar tentang dirimu. Aku mengomelimu karena aku peduli. Jika tudaky, aku tak akan bilang apapun dan tak akan ikut campur," jelas Plan dengan nada kesal.
"Iya, aku tahu. Maafkan aku, na!" ujar Mean sekali lagi.
"Iya, sudahlah! Sekarang kau harus lebih baik lagi dan lebih disiplin lagi. Kau punya masa depan cermerlang sebagai pemain sepak bola. Akan ada banyak klub ro yang merektutmu jika kau lebih menunjukkannya kemampuanmu. Sekarang waktunya. Kita punya waktu setahun. Setelah kelas tiga, kita akan lebih fokus pada ujian dan klub-klub sepak bola akan datang kepadamu. Neena juga akan bahagia kalau kau begitu," terang Plan.
"Uhm, aku paham," ujar Mean.
"Buruan pulang, aku masih ada urusan," sahut Plan.
"Hah! Kau mengusirku!" tanya Mean.
"Iya, aku masih punya banyak urusan," sahut Plan lagi menegaskan.
"O, dengan God?" Nada Mean menggoda.
"Astaga! Bukan! God sudah terbang ke Idaho kemarin sore. Ia direkrut tim pro basket Amerika dan akan dilatih di Idaho," ujar Plan singkat. Nadanya terdengar sedih.
"Hah? Jadi kalian putus?" tanya Mean lagi.
"Kurang lebih," ujar Plan dengan nada yang sedih.
"Eeeh? Bagaimana bisa? Kau pasti sangat sedih," ujar Mean lagi.
"Bisa. Ini kenyataannya. Aku sedih, tapi harus kuterima. Aku sangat menyayangi dia dan jika aku menyayangi dia aku harus merelakan dia untuk mencapai impiannya. Aku sangat mendukungnya," ujar Plan, tapi nadanya masih sedih.
"Wah, kau keren!" bisik Mean.
"Nah, sekarang buruan pulang! Aku harus belanja keperluan dapur klub dan obat-obatan juga," sahut Plan.
"O, itu! Aku antar na, mau?" tanya Mean lagi.
"Kau ada waktu? Memang tidak ada kencan dengan Neena?" tanya Plan lagi.
"Nanti malam. Sekarang masih bisa," ujar Mean sambil tersenyum dan menatap jam tangannya.
"Oke, kalau begitu, ayo berangkat sekarang," sahut Plan. Mean menganggukkan kepalanya dan mereka segera bersiap.
Bersambung