"Aaah, aaaah, nnnngh, Meaaan, oooh!" Suara desahan Plan memecah keheningan malam. Meski tak keras, ini cukup menaikkan kadar berahi Mean berlipat-lipat.
Ini sama dengan perasaan Mean yang terlalu bahagia hingga ia tak bisa berkata apa-apa kecuali meringis, merintih dan melenguh panjang karena kenikmatan yang tak tergambarkan dengan kata-kata dan yakin tak akan ia dapatkan dengan siapapun perempuannya.
Hanya Plan yang bisa melakukannya. Hanya perempuan cantik yang merupakan manajernya itu, yang pernah berselingkuh dengannya dari Neena saat mereka masih SMA dulu yang bisa memberikan kepuasan itu kepadanya. Hanya dia. Plan Rathavit yang sebentar lagi akan menjadi Plan Phiravich.
"Plaaan, nnngh, enak sekalii, ooooh," desah Mean dan ia menyodokkan naganya lebih dalam.
"Astagaa! Meaan, pelan-pelan, aaaah, nnnngh," desah Plan lagi. Mereka berdua berciuman, menyajikan kenikmatan yang berlimpah sebab atas dan bawah bertautan.
"Plaaan, aku sangat mencintaimu," desah Mean san masih terus menggoyangnya.
Tak lama kemudian, keduanya jatuh terkulai. Mereka sudah mencapai puncak pelepasan dan mereka sama-sama terpuaskan. Mean memeluk Plan dari belakangnya dengan tangan yang bertautan.
"Cabut naganya!" lirih Plan.
"Tidak mau," bisik Mean. Ia kemudian memejamkan matanya.
Plan hanya mengembuskan napasnya. Ia kemudian memejamkan matanya pula.
Keesokan harinya, Mean bangun. Plan sudah tak ada di sisinya. Ia keluar dengan hanya memakai celana panjang dan kaget saat mendapati orang tua Plan tengah duduk di ruang tengah bercanda dengan Est. Plan juga ada di sana dan sudah berganti baju.
"Maaf," sahut Mean dengan sangat sopan dan malu pula. Ia dengan cepat masuk lagi ke dalam kamar dan mengembuskan napasnya.
Plan masuk ke dalam kamar san tertawa melihat ekspresi di wajah Mean.
"Mandi," ujar Plan.
"Iya," sahut Mean dengan cepat dan berjalan ke kamar mandi. Tak lama kemudian, ia keluar dari sana dan memakai bajunya kembali. Plan menungguinya. Ia mendekati Mean dan memasang kancing pada kemejanya lalu merapikan dasinya.
"Kau ingin menikah denganku, bukan?" Plan bertanya dengan serius. Mean menganggukkan kepalanya.
"Bicaralah kepada orang tuaku," sahut Plan lagi.
"Ya, baiklah," ujar Mean.
Mean keluar. Plan mengikutinya dari belakang. Mean lalu meminta waktu kepada orang tua Plan untuk berbicara. Irang tua Plan menyetujuinya. Mereka berbicara serius di ruang tengah dan keputusannya mereka menyetujui pernikahan Mean dan Plan.
Plan tersenyum bahagia. Begitu pula Mean. Tak ada lagi kekhawatiran. Mean menghadiri reuni dan melakukan tugasnya selama di Thailand. Sesudah itu, ia kembali le Inggris dan kemudian kembali ke Thailand setelah dua bulan untuk menikahi Plan.
Mereka menikah di sebuah ballroom hotel yang sangat megah di Thailand dan kemudian berbulan madu ke beberapa tempat di Thailand.
Sehari sebelum pergi ke Inggris, Plan dan Mean berkunjung ke sekolah lagi. Mereka berjalan sambil mengenang dan bercerita tentang masa lalu. Iseng Plan membuka ruang loker, pintunya terbuka. Ia kaget. Mean dan Plan masuk ke dalamnya. Ia melihat banyak furnitur yang diganti. Mesin cuci juga. Beberapa foto ada di sana menempel santai di dinding. Ada foto mereka juga di sana.
"O, wajahmu tetap sama," ujar Mean sambil menatap Plan di foto.
"Uhm, banyak yang berkata begitu," sahut Plan.