Wisuda SMA sudah tiga tahun berlalu. Mean kembali dari Inggris untuk reuni.
Selain itu, ia juga diundang oleh beberapa kampus untuk memberi motivasi sekaitan dengan sepakbola dan olahraga.
Namanya sudah sangat dikenal sekarang. Ia salah satu pemain sepakbola yang tangguh dan bekerja keras. Ia juga semakin terlihat gagah dan tampan. Banyak penggemarnya bilang, ia lebih mirip aktor daripada pesepak bola.
Kepulangan Mean tidak semata memenuhi undangan saja. Ia juga sudah lama ingin bertemu dengan teman-temannya di SMA termasuk Plan. Sayangnya, ia tak datang. Plan tinggal di Amerika setelah menikah dengan Blue setahun yang lalu.
Mean kaget dan juga sedih. Ia pikir akan ada kesempatan untuk bertemu dengan Plan dan melihat senyumnya lagi. Ia paham Plan sudah menjadi milik orang lain dan ia tak mungkin memiliki dirinya, tapi harapan itu meski kecil masih menyala si hatinya, jika ada kesempatan, ia tak akan segan menyatakan perasaannya yang sesungguhnya daripada bermain-main dengannya.
Saat ia kembali ke SMA, ia bertemu dengan Dream dan mereka juga berbicara, tapi tak sampai ke ranjang. Hanya benar-benar berbicara. Ia juga bertemu dengam Yacht yang menjadi pelatih sepak bola di klub di Chiang Mai dan juga Neena yang sudah punya satu anak, hasil pernikahannya dengan Jo Kavin, seorang pegawai bank di Bangkok.
Mean kembali ke Inggris setelah menyelesaikan tugasnya dan kemudian melanjutkan hidupnya di sana. Ia sudah melanglang dunia dan karirnya semakin tinggi. Ia termasuk salah satu pemain sepak bola dengan bayaran termahal sekarang.
Ia memiliki semua yang ia inginkan, kecuali wanita yang menjadi pendamping hidupnya. Tentu saja ia mengencani wanita. Dari mulai wanita Asia sampai Eropa, semuanya hanya berakhir pada sofa mewahnya di sebuah ruangan di apartemennya. Tak pernah ada satu pun yang sampai ia bawa ke ranjang megahnya di Wimbledon, Inggris. Sofa dan ranjang yang membedakan definisi bercinta dan seks.
Dua tahun kemudian, Mean menerima lagi undangan untuk reuni sekaligus motivator olahraga khusus anak-anak SMA dan universitas. Kali ini ia tak punya banyak harapan. Ia tak berharap bertemu Plan sebab seingatnya Plan tinggal di Amerika dengan Blue.
Mean terbang ke Thailand. Ia bertemu dengan Neena. Kali ini, ia sudah bercerai dengan suaminya, Jo Kavin dan kini sedang menjalin hubungan dengan seseorang yang usianya sama dengan ayahnya.
Ia bertemu dengan Joss juga yang tengah berlibur ke Thailand dengan istrinya yang jauh lebih tua daripada dirinya, Nune, sang dokter klinik di SMA-nya dulu.
Terakhir ia, pergi ke Chiang Mai menemui Yacht sebab masih ads waktu sebelum reuni acara dimulai. Dari Yacht, ia mendapatkan informasi mengenai Plan.
Plan sudah pindah ke Thailand. Suaminya, Blue meninggal karena kecelakaan mobil di Amerika. Ia sudah punya satu anak lelaki bernama Est yang berusia dua tahun.
Mean sangat bahagia mendengar hal itu. Bukan tentang kematian Blue tentunya, melainkan kabar Plan yang ada di Thailand. Ia terbang ke kembali ke Bangkok dan menuju ke rumah Plan. Sayangnya Plan tak ada di tempat.
Mean sedih. Tapi, ia tak akan menyerah. Tidak apa-apa. Ia sudah tahu Plan ada di Bangkok dan ia sudah tahu rumahnya pula. Yang paling penting, ia punya harapan bisa bertemu dan mengungkapkan perasaannya.
Mean pulang. Sudah pukul tujuh malam kala itu. Di perjalanan, ia memutuskan untuk mengunjungi SMAnya. Ia meminta sopir taksi mengganti arah menuju sekolah. Ia turun dan berjalan menuju klub. Sepi. Tak ada orang. Tentu saja sudah malam. Tapi, kalau dulu, Plan pasti masih membersihkan dan merapikan klub. Ia pasti akan berada di ruang loker dan mencuci. Ia berjalan ke ruang loker dan menatapnya. Kenangan manis dan berharga yang menjadi bagian dari hidupnya banyak terukir di sana.
Ia berjalan serampangan dan tanpa sadar langkahnya membawanya ke lapangan. Sebuah bola menggelinding ke arahnya dan tepat berhenti di depan kakinya. Ia berjongkok dan menatap bola itu sejenak. Ia mengangkat kepalanya dan kaget saat seorang anak berteriak dengan keras ketakuta memanggil ibunya.
"Mommy," ujar sang anak.
Suara langkah berlari tergesa datang menghampiri sang anak dan kedua orang dewasa itu berpandangan.
"Plan!" lirih Mean sambil tersenyum bahagia.
"Mean!" lirih Plan sambil tersenyum ramah pula.
Mereka berdiri berhadapan.
Plan menggendong anaknya yang ketakutan.
"Halo!" sapa Plan sambil tersenyum.
"Halo," jawab Mean sambil tersenyum.
Bersambung