Mereka duduk bersila bersebelahan di tengah lapangan dan membiarkan keheningan menemani mereka untuk beberapa saat.
"Dia Est?" tanya Mean sambil menatap Est yang tidur di pangkuan Plan.
"Uhm," gumam Plan sambil memperbaiki posisi duduknya dan memeluk Est sambil megelus rambutnya dan memeluknya.
"Dia mirip sekali dengan Blue," sahut Mean lagi. Sekali lagi Plan hanya menganggukkan kepalanya.
"Artinya Blue sangat mencintaimu," ujar Mean.
"Begitukah?" Plan tersenyum dan menatap Est.
"Kudengar," sahut Mean.
"Apa kabarmu?" tanya Mean. Ia menatap Plan dengan lembut.
"Sekarang lebih baik. Aku tahu apa yang ingin kulakukan untuk hidupku," sahut Plan.
"Apa kabarmu?" Plan balik bertanya. Ia menatap Mean juga dengan lembut.
"Kesepian," sahut Mean.
"O, kasihan sekali. Kau tak sendirian di atas sana, Mean. Ada banyak bintang di sana. Kau hanya tinggal memilihnya," sahut Plan sambil menunjuk ke atas langit.
"Tapi yang kumau tak ada di sana," ujar Mean sambil menatap Plan.
"O, sayang sekali. Ada di mana?" tanya Plan dengan nada bercanda.
"Ada di hadapanku sekarang," ujar Mean lagi dengan nada serius.
Wajah Plan sontak berubah. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan wajahnya memerah.
"Untuk berapa lama kau di sini?" tanya Plan mengalihkan pembicaraan.
"Entahlah! Sampai aku bisa meyakinkan orang yang kucintai untuk memberiku kesempatan," ujar Mean sambil menatapnya lagi.
"O, wah! Dream di Amerika sekarang," sahut Plan.
"Aku tak sedang membicarakan dirinya. Dia sebuah kesalahan di masa laluku dan kebodohanku. Seharusnya aku menyadari bahwa kau orang yang kucintai bukam dirinya," ujar Mean memastikan.
"Meaan, jangan berbicara hal seperti itu. Aku sudah punya anak," sahut Plan.
"Aku tak peduli. Aku mencintaimu, Plan," sahut Mean.
"Blue akan lega jika kau bersama dengan seseorang yang menjagamu," sahut Mean lagi memastikan.
"Aku tak mau membicarakan itu
Bicarakan yang lain saja," sahut Plan."Kenapa? Kau tak menyukaiku. Kau pernah memberikan tubuhmu kepadaku, tak bisakah kau berikan perasaanmu kepadaku? Bisakah kau maafkan aku dan berikan aku kesempatan," sahut Mean lagi. Tatapannya sendu.
"Kau ini lucu sekali! Kenapa meminta maaf. Kau tak salah. Dulu kita tak pernah berikrar apa-apa. Kau bebas berkencan dengan siapapun. Aku tak punya hak untuk melarangmu," sahut Plan sambil menepuk punggung Mean perlahan.