7 | Crushed wound

144 15 44
                                    


—semakin ditimpali, maka semakin hancur lebur, begitu pilu.

Peluh yang terkucur deras dari balik pelipis dan sengal napas tak beraturan itu dapat menjadi bukti bahwa kini, Jungkook tengah mendapatkan mimpi buruknya. Mimpi buruk yang datang entah ke berapa kalinya. Yang pasti begitu tak mengenakkan hati. Membuatnya memutuskan untuk pulang lebih awal sore ini. Tetap membawa pemikiran positifnya dalam benak. Mungkin ini efek kelelahan karena bekerja seharian di tambah lembur yang beberapa hari ini sukses mengusik jadwal tidurnya. Jadi tidak teratur dan kacau semua.

Jungkook nampak mematung dalam keheningan. Debar jantungnya mendadak berpacu lebih cepat dari biasanya saat melihat dari belakang bagaimana Haerin kini tengah menyeka airmatanya dalam diam. Menangis tanpa suara. Menangis tanpa menyadari jika air matanya jatuh. Melebihi seluruh rasa keingintahuan Jungkook sekarang tentang penyebab Haerin menangis sebegitu rapuh dan getirnya. Pemikirannya kini malah tertuju dan membayangkan apakah dulu Haerin juga sering seperti ini, saat masih ia sakiti—dulu.

Tangan kekar itu, sukses meremat jasnya sendiri. Matanya semakin lama, terasa begitu perih dan memanas. Sesak semakin menghimpitnya. Seakan memukulinya hingga tak mengijinkannya untuk meraup udara barang sedikitpun. Sungguh ya, menangis dengan cara seperti ini jauh menyesakkan lebih dari apapun. Jungkook jadi salah mengira. Mengira Haerin yang selalu kuat dan tegar, tapi sekarang lihat? Wanita itu bahkan menunjukkan dan menyesap kesedihan, penderitaan, dan bebannya seorang diri. Bahkan Jungkook, suaminya sendiri tidak di-ijinkan untuk menyesap dan menimpalinya. Bukankah ini sangat keterlaluan. Baiknya sangat keterlaluan hingga pria Ryeo hanya dapat terdiam membisu dengan segala penyesalannya.

Tungkai panjang itu lantas menapak, setelah sebelumnya hanya terdiam di dekat pintu kaca geser itu. Menghampiri sang istri dengan diam-diam. Belum sempat jangkahannya sampai, dengan tiba-tiba tubuh Haerin sudah berbalik dan menatapnya. "Ryeo, kau sudah pulang?" ucap wanita Kyo diselingi seutas senyuman. Jungkook terdiam, bingung sendiri. Bingung harus menimpali seperti apa, saat menemukan Haerin dengan senyuman manis dan wajah cerianya.

Tidak ada lagi Haerin rapuh dan hancur dihadapannya.

Ada apa ini, kenapa mendadak Jungkook ragu untuk mendekati dan melanjutkan jangkahannya. Kenapa? kenapa Haerin bersandiwara di depannya?

"Ryeo kenapa diam?" tanya Haerin singkat dengan nada herannya. Wanita Kyo jadi berpikiran macam-macam saat menerka air muka sang suami. Jangan-jangan, Jungkook melihatnya menangis tadi. Ah, bagaimana ini. Pasti nanti akan mengundang banyak praduga dan pertanyaan. Tapi mau bagaimana lagi, suasana hatinya sedang buruk dan kalut begini. Bawaannya selalu saja sedih dan ingin menangis.

"R—rin, kau kenapa?" tanya Jungkook canggung, bahkan perkataannya sampai terbata. Saking gugupnya, bahkan peluh itu semakin giat mengucur. Kemeja pria Ryeo di balik punggung saja sudah sukses basah terhias keringat.

Haerin terdiam, mencerna ucapan Jungkook. Kemudian tersenyum canggung sambil menatap pria Ryeo, "Aku tidak apa-apa. Hanya lelah, sehabis berkebun sore ini."

"Bohong!" tukasnya cepat.

Haerin sukses terjingkat saat rebakan tenor dengan nada meninggi itu mengudara. Ini mirip sebuah bentakan. Bentakan yang sudah lama tak ia dengar. Dan setelahnya senyap. Tidak ada perbincangan apapun. Jungkook bahkan masih bergeming dengan segala pemikirannya. Dan jelaga miliknya secara tidak sengaja, memirsa sebuah kertas dengan beberapa lipatan di meja kayu itu, di samping kursi yang Haerin duduki. Sukses membuat Jungkook terkejut, dan mencoba menfokuskan atensinya penuh pada benda itu.

Jungkook mendekat, sambil menampilkan air muka tak terartikan dan menatap Haerin sayu. "Rin, i—itu kertas apa?" tanyanya dengan gugup dan terbata.

IdyllicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang