Bab. 2. Andai Dia Tahu

3 1 0
                                    


By : Nena Athar dan Nia Ruswoko

.

Rania memandang benda yang ada di tangan Athar. Ternyata sebuah gantungan kunci dengan boneka lucu, kenangan dari almarhum papanya. Itu dibeli saat papanya tugas ke Jepang. Rania sering menyebutnya sebagai jimat.

"Eh, iya."

"Ini, tadi ketinggalan di lantai perpustakaan," ucap Athar sambil memberikannya pada Rania.

"Makasih, Kak. Duh, jadi enggak enak sampe dianterin."

"Enggak apa-apa. Kebetulan aku tadi haus." Athar kembali mengulas senyum dan berpamitan.

Hati Rania berdebar. Dia menggenggam gantungan kunci itu erat-erat. Sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman. Matanya terus mengikuti langkah Athar yang menjauh.

Wajah Rania semringah. Dia tidak menyangka kalau Athar mencarinya hanya untuk mengembalikan sebuah gantungan kunci padahal mereka baru sekali bertemu. Gadis itu kagum dengan daya ingat Athar yang langsung hafal wajahnya.

"Heh, orangnya udah ke Arab, matamu masih ke sana aja. Sadar, woy!" teriak Dina sambil mengibaskan tangan ke sisi wajah Rania.

"Duh, Dina ... dia cool banget!"

"Kamu sehat, kan, Ran?" Dina menyentuh kening Rania. Dia memastikan temannya tidak sakit karena bertingkah aneh.

"Ish, apaan, sih?!" Rania bangkit dari kursi dan menuju ibu penjual mi ayam, lalu membayar makanannya.

Dina bergegas mengikuti sahabatnya yang berjalan santai meninggalkan kantin. Sementara Rania masih terus tersenyum malu. Hatinya sedang berbunga-bunga karena sudah disapa Athar.

"Ran, tungguin napa!" Dina menggeleng melihat kelakuan temannya itu. Dia merasa layaknya mak comblang karena sahabatnya sedang kasmaran. Dia menjadi tempat curhat dan keluh kesah Rania.

"Cepetan, sebentar lagi kelas bahasa Perancis mau mulai nih, jalan aja lama amat, sih!" Rania berkata sambil setengah berlari.

*** Nena & Nia ***

Kelas pun sudah mulai saat Rania dan Dina tiba. Pak Tri Sucipto memergoki keduanya terlambat datang. Lelaki yang lebih tua 25 tahun dari mereka itu, masih terlihat tampan dan gagah.

"Ehm. Bonjour?" ("Ehm. Hallo?") Pak Tri Sucipto menyapa dengan tatapan tajam.

"Bonjour. Monsieur Tri, comment allez vous?" (Hallo. Pak Tri, apa kabar?") Dina dan Rania menjawab kompak.

"Pourquoi es-tu en retard?" (Kenapa kalian terlambat?") tanya Pak Tri kepada mereka berdua.

Tanpa disadari, tingkah mereka berdua dalam pengawasan Athar. Rania tidak pernah menyangka kalau cowok itu sedang memperhatikan gerak-geriknya. Gadis itu sedang merasakan panas dingin karena gugup berada di depan kelas.

Athar mengetahui Rania dan Dina tengah mengalami kesulitan. Mereka gelagapan menjawab pertanyaan Bapak Tri. Akhirnya, dia pun menolong mereka berdua. Cowok itu berbicara dengan fasih, mencoba memberi pengertian agar Rania dan Dina bisa mengikuti materi yang sedang dijelaskan.

"Oui. Asseyez-vous, s'il vous plaît." ("Ya. Silakan duduk.") Pak Tri, memberikan kesempatan kepada Rania dan Dina untuk duduk.

"Merci beaucoup, Monsieur Tri." ("Terima kasih banyak, Pak Tri.") Rania dan Dina pun mengambil bangku di sebelah Athar.

"Kak, thank you so much." ("Kak, terima kasih banyak.") Rania berkata sambil tersenyum pada cowok yang telah membantunya tadi.

Pesona Athar telah masuk ke relung hati Rania. Dia merasa senang dan kagum. Cowok itu tersenyum dan mengangguk.

Hati Yang MengalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang