Prolog

1.4K 92 15
                                    

Kita tak pernah tahu kapan impian kita akan menjadi nyata, tapi kita tahu bahwa mengusahakan yang terbaik akan membawa kita menuju ke sana.

***

Hampir pukul dua belas malam, pesawat berbendera Korea Selatan mulai mengudara meninggalkan bandara Soekarno Hatta. Ara menunggu hingga indikator sabuk pengaman menyala hijau, menandakan penerbangan sudah dalam posisi stabil. Ia tak melepas sabuk pengamannya, hanya memundurkan sandaran kursinya hingga nyaman.

Dikeluarkannya ear plug dan penutup mata, dua benda yang dulu ia terima sebagai oleh-oleh saat Heru,teman sekantornya, pulang dari Korea.

Ara tersenyum sendiri. Kejadian sekitar setahun lalu melintas di benaknya.

"Ini oleh-oleh spesial buat kamu. Belum pernah naik pesawat jarak jauh kan? Nanti kalau pergi-pergi naik pesawat yang perjalanannya lama, kamu bisa pakai ini. Lumayan membantu," kata Heru sambil tertawa.

Disodorkannya pouch kecil berisi kaus kaki, ear plug, dan penutup mata. Ada logo garuda biru pada salah satu sudut kantong kecil itu.

"Aamiin. Mengikuti jejakmu ke Korea ya, Mas," jawab Ara sambil tersenyum.

"Why not? Kamu berpotensi untuk itu kok. Pertahankan saja performa dan kinerjamu, insya Allah dilirik deh sama Pak Abu."

"Aamiin. Tapi beneran nih oleh-olehnya cuma ini?"

"Haha, ngarep lebih ternyata ya. Nih oleh-oleh utamanya."

Sebuah replika pria dan wanita mengenakan hanbok khas Korea. Ukuran masing-masing hanya sebesar telapak tangan, tapi rasa yang diterima Ara seolah ia memperoleh dunia dan seisinya.

Ada yang menghangat di hatinya. Impian yang ia pendam sejak kecil terasa selangkah di depan mata.

Ara tersenyum mengingat kejadian setahun lalu. Ia percaya bahwa ucapan adalah doa. Maka ia selalu berusaha mengaminkan setiap ucapan baik yang tertuju untuknya. Pun ucapan Heru waktu itu, yang benar-benar terwujud di tahun berikutnya.

Setelahnya ia menggelar selimut, lalu memasang ear plug dan penutup mata. Siap untuk tidur. Ia ingin menginjakkan kaki di negeri ginseng dalam keadaan yang terbaik. Jadi ia memutuskan untuk memulai perjalanannya dengan istirahat yang cukup.

Berkunjung ke Korea Selatan adalah impiannya sejak lama. Ia masih ingat betul, saat itu usianya baru sekitar dua belas tahun ketika salah satu stasiun televisi swasta menayangkan serial drama Korea, Jewel in The Palace. Setiap sore dari hari Senin sampai Jum'at, ibunya tak pernah absen menonton di sela-sela kesibukan mengerjakan jahitan yang dipercayakan kepadanya.

Ara kecil tak ketinggalan. Apa yang disukai ibunya, ia akan menyukai pula. Apa yang tidak disukai ibunya, maka ia pun tak suka.

Kehidupan Jang Geum kecil yang miskin dan sendirian namun tetap tegar dan selalu gembira menjadi motivasi tersendiri bagi seorang Ara. Meski ia tak sendirian, namun ketiadaan seorang ayah sejak sebelum ia terlahir ke dunia membuat rasa sendirian itu tetap saja muncul pada dirinya.

Semenjak itu, Ara kecil menyimpan impian, suatu hari nanti ia akan berkunjung ke negeri Dae Jang Geum. Ia berjanji pada dirinya sendiri, akan menjadi tangguh seperti Jang Geum. Bukan sekadar untuk mengejar impiannya, juga agar ia bisa mewujudkan impian demi impian tanpa menyusahkan ibunya.

Ia tersenyum lagi, impiannya akan terwujud beberapa jam ke depan. Lalu ia jatuh dalam lelapnya di atas awan.

Berada tujuh jam di udara bukan waktu yang singkat bagi Ara. Ia yang baru pertama kali menjalani penerbangan internasional mencoba menikmati perjalanannya dengan gembira. Setelah merasa cukup tidur, ia mulai mencoba aktivitas lain. Menonton film, mendengarkan musik, juga membaca buku yang ia bawa dari Indonesia.

SUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang