16.

1.9K 296 25
                                    

Habis mengirimkan chat terakhir ke Bambam, Rose di kejutkan dengan suara klakson mobil nyaring dari luar.

"Siapa?" tanya Rose pada Jeje yang tiduran di sofa sementara merakyat duduk di lantai menyender pada sofa.

"Nggak tau."

"Bukain gih." Jeje menurut.

Tak lama Jeje kembali dengan raut heran. "Cewek Minghao, mau ngapain tuh?"

"Lah ngapain tu cewek kesini? Gabut kok nyasar ke rumah rakyat jelata bukan Prancis."

"Yaudah sana temuin, kalo dia mulai macem-macem teriakin gue ya biar gue video-in ulah dia."

"Video-in sekalian bantuin?"

"Enggak lah, ngapain bantuin? Lo napas aja dia takut."

"Mulut lo minta di gampar, Je."

Jeje tertawa.

Anggia—— dengan setelan mewah dan anggun-nya—— berdiri di depan mobil. Pagar sudah terbuka namun dia bergeming di sana.

"Lo mau bicara dari sana?" sarkas Rose seraya mendudukkan diri di kursi yang tersedia untuk menyambut tamu nggak penting (karena kalo penting dipersilahkan masuk) atau mau duduk santai aja di luar.

Tidak seperti biasa, Anggia tidak melempar tatapan tidak suka. Dia lebih kelihatan... habis menangis? Oke, Rose mulai was-was. Kenapa nih cewek habis nangis malah nemuin Rose?

Berdiam selama lima belas menit. Rose jengah juga. Dia inisiatif nanya. "Ada apaan kesini?"

"Apa yang lo punya yang nggak gue punya, Roseanne?"

Oke, pertanyaan klasik menuju kisah cinta dramatis. Rose sudah menduga kedatangan cewek ini pasti karena Minghao. Apalagi yang menghubungkannya dengan Anggia selain Minghao?

"Gue punya kemiskinan sedangkan elo enggak."

"Gue serius."

"Loh? Gue juga serius Anggia. Gue miskin, lo enggak. Fakta. Valid no debat kalo debat pala lo gue penggal. Gini deh Nggi, yaampun gue manggil Nggi berasa akrab banget, bodo amat lah ya, lo kalo mau marah langsung aja ke intinya nggak usah pake pembuka. Lama."

"Selama ini Minghao nggak secara gamblang menolak gue. Sikap dia yang nunjukkin. Tapi gue nggak peduli, selagi dia nggak mengucapkan itu." Anggia menghela nafas. "Setiap gue marah, gue selalu bilang, kamu pernah lihat aku Minghao? Enggak! Karena yang kamu lihat cuma Rose, Rose, Rose! Aku jadiin kamu duniaku tapi duniamu malah berpusat ke cewek itu! Kamu secinta itu sama dia? Kamu bener-bener mencintai dia?"

Ada jeda lama sebelum Anggia melanjutkan. Rose? Nggak tau mau respon gimana. Seluruh tubuhnya menjadi kaku. "Tadi malem puncaknya. Minghao mungkin capek karena gue marah, atau dia capek denger pertanyaan gue yang padahal gue tahu dengan jelas jawabannya. Malem itu dia membenarkan seluruh argumen gue. Tentang lo segalanya. Tentang lo yang jadi pusat dunianya. Tentang lo, cewek yang dia cinta."

Rose berdiri. "Anggia, gue nggak mau denger lagi. Mending lo pergi."

"Kenapa?" Anggia tersenyum sinis memandang Rose. "Harusnya lo seneng denger ini dari gue. Lo menang. Lo selalu memenangkan setiap permainan Rose."

"Gue nggak ngerti tujuan lo ngasih tahu gue———"

"——— Tujuan gue adalah cerita sampe akhir sambil nangis-nangis agar lo merasa bersalah karena ini semua karena lo!"

"Atau tepatnya lo nggak cuma mau bikin gue ngerasa bersalah, tapi lo menyalahkan gue, kan?"

"Semua karena lo."

"Kenapa salah gue sedangkan itu perasaan Minghao?!"

"Karena gue tahu lo juga punya perasaan buat Minghao! Satu-satunya alasan kenapa kalian nggak jadian adalah karena Minghao tunangan sama gue!"

"Pede banget lo. Udah-udah, mending lo pergi ya. Nangis bombay sama temen lo aja, lo nggak guna dateng kesini. Atau lo mau liat gue ngamuk kayak gue ngamuk ke cewek Jaehyun malem itu? Enggak 'kan Anggia?"

Gagal total seluruh skenario yang Anggia bangun.

"Kenapa tuh?" tanya Jeje ketika Rose kembali dan merebahkan diri di sofa panjang seraya membuka youtube.

"Putus kali."

"Putus sama Minghao?"

"Tunangan kalo hubungannya berakhir di sebut apaan? Putus juga?"

"Nggak tau. Samain aja lah."

"Yaudah putus. Nggak tau putus beneran apa kagak gue keburu muak denger cerita dia."

"Dia cerita apa sama lo?"

"Kata Anggia, hubungannya makin rusak karena Minghao ngebenerin semua argumen dia yang bilang kalo gue cewek yang Minghao mau." Rose memperhalus kalimat Anggia karena menurut Rose kalimat Anggia tadi terlalu berlebihan. Di kira ini novel?

"Argumen Anggia?"

"Iya Anggia tuh semacam bilang gini sama Minghao, cewek yang lo mau tuh siapa?! Gue atau Rose?! Gitu lah kira-kira... nggak ngerti juga gue."

"Anggia tuh bodoh atau tolol sih?!"

"Dua-duanya."

"Iya juga." Jeje membenarkan. "Tapi Se, sebenarnya, apa sih yang bikin lo sama Minghao nggak jalin hubungan padahal bukannya udah jelas kalian sama-sama mau?"

Jeje tidak pernah bertanya seperti itu selama pertemanan mereka di mulai sejak setahun yang lalu.

"Mama nggak izinin." jawab Rose santai.

"Nggak izinin gimana?"

"Mama nggak bolehin gue pacaran. Fokus dulu sekolah."

"Itu aja?"

Jeje nggak bisa menghakimi alasan klasik Rose. Jeje tahu, Rose anak penurut dan selalu mendengarkan orangtua. Dia mungkin sering memaki kedua orangtuanya namun itu hanya sebatas ungkapan kekesalan yang tidak bisa dia sampaikan secara langsung. Rose pernah cerita kalau Mama-nya seringkali menasehati Rose buat nggak pacaran dulu, fokus sekolah. Setiap nasihat, kalimat itu akan terus terucap oleh Mama. Ketika Rose berniat melanggar, kalimat Mama selalu menuntunnya kembali ke pemikiran bahwa Mama nggak mengizinkan.

Lama mereka hanyut dalam permainan ponsel masing-masing hingga Rose nyeletuk.

"Alasan gue terdengar basi, gue tahu. Tapi Je, Minghao pantes dapet yang lebih baik dari gue. Yang lebih baik, dan itu bukan gue."

"Apa yang lo maksud dengan yang lebih baik? Lo kurang baik gitu?"

"Ah salah deng. Gue mah baik hati. Maksud gue, gimana ya... gue tuh nggak pantes buat Minghao. Gue-nya. Jangan lo pikir kasta atau gimana... tapi diri gue ini."

"Kenapa gitu?"

Rose mengangkat bahu. "I am not virgin anymore."

"ROSEANNE!"

"Sorry, that's joke."

Amìtìe Two Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang