Happy reading...
Seperti hari-hari sebelumnya, Dila pergi kesekolah menggunakan sepeda. Jarak sekolah dan rumah yang lumayan jauh tidak melunturkan semangat Dila untuk tetap mengayuh sepedanya. Ia tidak malu bersekolah memakai sepeda yang jauh dari kata bagus, ia tidak malu bersekolah memakai sepeda di sekolah yang rata-rata siswa-siswinya memakai mobil atau motor berharga fantastis.
Dila menyeka bulir-bulir keringat yang menetes di kening mulus miliknya, akhirnya sampai juga.
Selesai memarkirkan sepeda di tepat yang jarang dilalu banyak orang, Dila melangkahkan kakinya menuju taman belakang.
Koridor sekolah nampak masih sepi, bahkan nyaris tidak ada orang sama sekali. Maklum, sekarang ini masih jam 06.25 Wib. Tandanya bel masuk masih sekitar 45 menit lagi.
Dila memang sudah terbiasa datang kesekolah pagi-pagi guna menjauhi keramaian. Entah apa yang spesial dari Dila, karena Dila akan menjadi pusat perhatian jika sekolah sudah ramai.
Ada yang menggosipkannya manusia aneh, ada yang secara terang-terangan menggangu Dila, bahkan ia di juluki sebagai maid of introvert katanya kalau julukannya queen of introvert terlalu bagus untuk Dila yang miskin.
Sudah lah tak usah di bahas lagi, mereka hanya beromong kosong. Walau terkadang ia juga merasakan hatinya terluka, 'Terlalu sibuk untuk omong kosong.' kata itu seolah menjadi obat untuk ia menulikan pendengaran ketika di hina.
Seperti biasa, Dila mengambil sapu serta serokan untuk membersihkan area taman. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya semenjak duduk di bangku SMP.
Dila menyapu ke setiap sisinya, lalu mengambil lap untuk membersihkan tempat duduk yang biasa ia pakai ketika makan siang atau sekedar merenungi diri.
"HEH BABU SEKOLAH" Teriak salah satu siswa kelas XII dari arah taman utama.
Dila menghela nafas kasar. Ia tidak sakit hati, hanya saja ia jengah dengan apa yang orang lain katakan pada dirinya. Mengapa orang memperlakukan dirinya seperti ia tidak memiliki harga diri?.
"BABU LO SOMBONG BANGET GAK NYAUTIN GUE." Teriaknya lagi. Dila masih diam, ia tak ingin menciptakan masalah besar. Cukup diam maka semuanya masalah tidak akan menjadi masalah, walau kenyataanya itu tidak benar sama sekali. Yang ada, Dila makin diam maka masalah besar sedang menantinya didepan mata.
Dila mengambil tasnya, berjalan berlawanan arah dengan ketiga kakak senior yang sedari tadi berteriak tanpa pedulian banyak orang yang memfokuskan perhatian mereka pada Dila.
Lagi-lagi, Dila menjadi pusat perhatian banyak orang. Tolonglah ia juga memiliki rasa lelah terutama rasa jengah.
"Sini Lo gue mau ngomong." Cowok berseragam yang tidak dimasukan dengan rambut acak-acakan itu menarik tas Dila. Mau tidak mau Dila berhenti, melirik sekilas lalu menunduk.
"Punya nyawa berapa lo gak nyaut pas gue panggil inget Lo cuma sampah miskin yang gak guna, babu aja lebih mulia dari pada lo. Lo gak pantes sekolah di sekolahan bokap gue. Anak haram dan terbuang yang gak punya keluarga, dan tunggu Lo di buang kan sama keluarga Lo? Ya harusnya lo sadar, mereka tuh jijik punya lo dan udah ngelahirin lo, sadar tolol." Hati Dila mencelos tak kala kalimat panjang itu menembus pendengarannya. Jahat sekali ucapannya, terlebih yang berbicara adalah laki-laki. Predikat lelaki bermulut cabai sangat cocok di sandang oleh sosoknya.
"Anak hara...."
Plak...
Suara tamparan menggema di sepanjang koridor. Pantulan-pantulan dinding seolah memantulkan suara tamparan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M INTROVERT [HIATUS]
Teen FictionFollow sebelum membaca yaaaa... Jangan lupa vote disetiap chapter. Komen juga yaaaa »★« Sesuatu yang berharga, mengapa begitu singkat adanya. -Ananda Dila Dione Juno. Cinta membuat aku bertahan sampai sejauh ini, namun tugasku sudah selesai. Teri...