🍂 9 🍂

412 91 42
                                    

Malam harinya, Abhi baru bisa kembali ke rumah Dina karena saat bangun tidur tadi sore, perutnya terasa sakit. Mungkin karena beberapa hari ini ia sering telat makan.

Rumah Dina terlihat sepi. Gelap, tak ada penerangan sama sekali, menandakan tak ada seorang pun di rumah itu. Abhi turun dari mobil dan berjalan ke rumah pak Dirja.

"Selamat malam, Pak."

"Selamat malam, Mas Abhi. Mari masuk!"

"Iya, Pak."

"Silahkan duduk, Mas!"

"Iya. Terimakasih."

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"

"Iya, Pak. Saya mau tanya, itu rumah di depan kok gelap, ya. Apa pemiliknya belum pulang?"

"Ohh. Iya, Mas. Mbak Dinanya belum pulang."

"O gitu. Apa saya bisa minta tolong sama Bapak?"

"Bisa, Mas."

"Begini, Pak. Seandainya Dina pulang, bisakah Bapak menghubungi nomor saya?" tanya Abhi sambil menyerahkan kartu namanya.

"Iya, Mas. Nanti bapak kasih kabar kalau Mbak Dina pulang."

Abhi melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, yang menunjukkan angka delapan lebih. "Terimakasih atas bantuannya, Pak. Sudah malam, saya pamit pulang."

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan!" Pak Dirja mengantar Abhi sampai di depan rumahnya.

"Mari, Pak."

Mobil Abhi meluncur meninggalkan komplek perumahan tempat tinggal Dina. Ia memutuskan untuk menginap dan pulang ke rumah besok pagi. Tubuh dan pikirannya terlalu lelah. Ia tak yakin bisa menyetir dengan benar kalau memaksakan untuk pulang malam ini juga. Setelah sampai di penginapan nanti, ia akan mengirim pesan pada ibunya, supaya tidak khawatir.

🍂

Salma sedang memasak bersama bi Ijah di dapur, ketika deru mobil terdengar memasuki halaman rumahnya. Ia segera mencuci tangannya dan berjalan keluar rumah.

Salma berdiri di teras. Tak lama, Abhi turun dari mobil dan berjalan mendekatinya. Wajah putranya itu nampak lelah. Apakah ada masalah? Salma segera menepis pemikirannya itu.

"Assalamualaikum," ucap Abhi lalu mencium punggung tangan ibunya takzim.

"Waalaikumsalam."

"Ibu ngapain nungguin aku di depan, nanti capek, loh." Abhi merangkul pundak Salma dan mengajaknya masuk.

"Enggak, kok. Ibu baru keluar tadi saat denger suara mobil kamu."

"O gitu. Kirain Ibu nunggu aku dari subuh," ucap Abhi sambil menarik turunkan alisnya.

"Kamu tuh, ya." Salma menggeplak lengan Abhi karena gemas. Sedangkan Abhi hanya terkekeh menanggapinya. Ia sengaja melontarkan candaan supaya ibunya tidak bertanya tentang urusannya kali ini. Ia belum siap cerita, tapi juga tidak mau berbohong terus menerus.

Saat memasuki ruang makan, Abhi melihat berbagai masakan telah tertata rapi di atas meja. Seketika perutnya merasa lapar. Tadi, ia memang belum sarapan karena harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari macet.

Abhi membaui masakan itu dengan hidungnya. "Baunya aja enak, apalagi rasanya."

"Cuci tangan dulu, baru makan!" Salma menggeplak tangan Abhi saat ingin mengambil bakwan jagung yang terlihat menggugah selera.

Abhi meringis dan mengelus punggung tangannya yang tidak terasa sakit karena geplakan pelan ibunya. "Hehe iya, Bu."

Salma geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah laku Abhi yang seperti anak kecil. Padahal putranya itu, sudah hampir kepala tiga. Senyum di bibir Salma tiba-tiba pudar. Ia mendesah lelah. Sampai saat ini, putranya itu belum mau menikah juga. Sedangkan ia sudah semakin tua.

 Takdir Jodoh - End (Sudah Terbit - Repost )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang