"Makan dulu ya, Na! Aku suapin."
Dina menggeleng. Ia sama sekali tidak nafsu untuk makan.
Sekar meletakkan piring yang ia pegang di meja. Lalu, ia menggenggam tangan Dina lembut. "Kalau kamu nggak makan nanti sakit."
Dina tetap diam. Tapi, Sekar tidak putus asa. Ia terus merayu agar sahabatnya itu mau makan.
"Aku tau apa yang kamu rasain saat ini karena aku juga pernah merasakannya. Walau sedikit berbeda, sih." Sekar menghela napas, hatinya selalu sesak ketika mengingat masa kelam dalam hidupnya. "Aku terpuruk, tapi aku mencoba bertahan walau jalan yang kulalui begitu sulit."
Dina memandang Sekar. Ia tau sepahit apa hidup sahabatnya itu. Tapi, ia berusaha menjadi kuat.
"Sampai aku ketemu kamu, Na. Sejak saat itu, kamu menjadi orang yang sangat berarti untukku. Aku menyayangimu, dan aku sedih liat kamu kayak gini." Sekar berusaha menahan cairan bening yang hendak keluar dari matanya.
Dina memeluk Sekar. "Aku merasa hidupku sudah tidak berarti lagi. Aku begitu putus asa dan larut dalam duka. Sampai aku lupa ada kamu yang sayang sama aku. Maafin aku ya, udah buat kamu khawatir."
"Kamu nggak salah, aku bisa ngerti sehancur apa perasaan kamu. Hanya saja, jangan menyiksa dirimu seperti ini." Sekar mengelus punggung Dina. "Makan ya." Dina pun mengangguk.
Sekar mengurai pelukannya lalu mengambil piring yang ia letakkan tadi dan menyuapi Dina.Sekar menyelimuti tubuh Dina yang kini telah terlelap. Ia memandang wajah sahabatnya yang terlihat pucat. Binar ceria yang selalu menghiasi wajah cantik itu, kini sirna berganti dengan kemuraman.
"Hidup ini memang tak terduga ya, Na? Kenapa orang sebaik kamu mengalami cobaan berat seperti ini. Aku takut kalau---"
Sekar menggeleng, menepis pikiran buruk yang berkelebat di otaknya. "Aku hanya bisa berdo'a semoga semua akan baik-baik saja."
Sekar membawa piring dan gelas bekas Dina tadi dan keluar dari kamar.
"Non Dina mau makan?"
"Iya, walau sedikit. Tapi lumayan daripada kemarin nggak mau makan sedikit pun."
"Alhamdulillah. Terimakasih, Non Sekar udah mau bantu ngerawat non Dina," ucap bi Narti tulus.
"Bibi bicara apa, sih. Dina sudah seperti kakak buatku, Bi. Jadi udah semestinya gitu. Dulu juga waktu aku lahiran, Dina sama Bibi yang menolong dan mendampingiku kan?"
"Iya, Non." Bi Narti terharu mendengar perkataan Sekar.
"Aku ke kamar dulu ya, Bi. Kayaknya Lily nangis tuh."
"Iya, Non." Bi Narti memandang tubuh Sekar yang berjalan ke arah kamar tamu. Ia bersyukur nonanya memiliki sahabat sebaik dan setulus Sekar. Walau mereka tak memiliki hubungan darah, tapi saling menyayangi layaknya saudara kandung. Bahkan Sekar rela menginap di sini sejak Dina Sakit. Sampai-sampai ia membawa putra purinya serta.
Dina memang hanya tinggal bersama bi Narti dan pak Hadi saja. Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya, menikah lagi ketika Dina masih remaja dan tak pernah kembali sampai saat ini. Sejak saat itu, Dina menjadi pemurung. Ia terlalu kecewa pada ayahnya sehingga enggan menikah walau kini telah berusia tiga puluh dua tahun. Ia takut dikhianati, seperti yang dialami oleh ibunya.
Hanya do'a yang bi Narti panjatkan. Semoga nonanya baik-baik saja.
🍂
Abhi keluar dari hotel saat pagi buta. Teman-temannya sampai heran karena Abhi pergi sepagi itu. Bahkan sampai sore pun tak kembali lagi ke hotel, melewatkan acara ulang tahun Widi, yang memang dirayakan di hotel tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Jodoh - End (Sudah Terbit - Repost )
RomansaCover by Henzsadewa 🍂 Pengkhianatan oleh kekasih dan sahabatnya membuat Abhi tak percaya lagi akan adanya cinta. Hatinya seakan mati membuat ia enggan membuka hati dan merajut kasih dengan wanita mana pun. Apakah Abhi akan tetap bertahan dengan pri...