Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, akhirnya Abhi sampai di kota tujuannya.
Abhi mengaktifkan ponsel miliknya lalu mengirim pesan pada Ardi kalau ia telah sampai, seperti pesan temannya itu tadi pagi yang meminta agar Abhi mengabarinya jika sudah sampai.
Saat Abhi ingin kembali mengetik pesan, ponselnya justru berdering menandakan ada pangiilan masuk yang ternyata dari Ardi.
"Gue udah minta pak Dedi buat jemput loe tadi." Belum sempat Abhi bicara, lebih dulu terdengar suara Ardi dari seberang sana.
Dedi adalah sopir keluarga Ardi.
"Oke. Makasih ya, Ar. Gue jadi ngerepotin mulu, nih."
"Enggk lah, kayak sama siapa aja, deh. Oh iya, loe masih punya nomor teleponnya pak Dedi, kan?" tanya Ardi.
"Masih." Dulu, Abhi memang sering berkunjung ke rumah Ardi waktu masih kuliah. Jadi, ia mengenal pak Dedi yang dulunya bekerja di rumah orang tua Ardi.
"Oke, kalau gitu loe tinggal hubungin pak Dedi aja. Dan inget, lansung ke rumah, nggak boleh ke hotel!"
"Iya ... Iya, bawel banget deh loe, kayak emak-emak."
Terdengar tawa dari seberang sana. "Udah dulu, Bhi. Gue ada metting, nih."
"Oke."
Setelah percakapannya dengan Ardi berakhir, Abhi menghubungi pak Dedi. Tak lama menunggu, sebuah mobil Toyota Fortuner warna abu berhenti tak jauh dari tempat ia duduk. Terlihat pak Dedi keluar dari mobil tersebut.
"Mas Abhi," sapa pak Dedi ramah.
"Pak Dedi apa kabar?" Abhi berdiri dari duduknya dan bersalaman dengan pak Dedi.
"Alhamdulillah baik. Lama nggak ketemu Mas Abhi bikin pangling, deh. Tambah ganteng."
"Bapak bisa aja. Kita berangkat sekarang, Pak?"
"Iya, Mas. Mari."
Setelah memasukkan koper ke bagasi, Abhi masuk ke dalam mobil bagian depan di samping pak Dedi. Fortuner abu itu pun meluncur meninggalkan bandara yang kini sudah jauh berbeda dari terakhir kali Abhi ke sini lima tahun yang lalu ketika menghadiri acara pernikahan Ardi. Sejak saat itu, Abhi tak pernah datang lagi ke kota ini. Seringnya Ardi yang datang mengunjunginya.
Selama perjalanan, Abhi ngobrol dengan pak Dedi. Ada saja yang mereka bicarakan. Sedang asyik mengobrol, ponsel pak Dedi berbunyi menandakan ada panggilan masuk.
"Angkat aja dulu, Pak. Siapa tahu penting."
"Iya, Mas."
Pak Dedi pun menepikan mobilnya lalu mengambil ponsel miliknya yang kembali berdering.
Entah siapa yang kini tengah berbicara dengan pak Dedi. Wajah pria yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu tampak terkejut.
"Ada apa, Pak?" tanya Abhi setelah pak Dedi menyudahi panggilannya.
"Be--begini, Mas. Tadi tetangga saya menghubungi kalau istri saya jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan. Lalu, sekarang sedang dibawa ke rumah sakit," jawab pak Dedi terbata. Ia khawatir terjadi hal buruk pada istrinya yang kini tengah mengandung tujuh bulan tersebut.
"Ya udah, kalau gitu kita ke rumah sakit saja, Pak."
"Tapi, gimana dengan Mas Abhi?"
"Saya ikut. Biar saya aja yang nyetir." Abhi tidak tega melihat wajah pak Dedi yang terlihat pucat.
"Maaf, Mas. Jadi ngerepotin."
"Nggak repot kok, Pak."
Setelah mereka bertukar posisi, Abhi segera menjalankan mobil tersebut menuju ke rumah sakit di mana istri pak Dedi dirawat. Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Padahal, jika tidak macet hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke rumah sakit tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Jodoh - End (Sudah Terbit - Repost )
RomanceCover by Henzsadewa 🍂 Pengkhianatan oleh kekasih dan sahabatnya membuat Abhi tak percaya lagi akan adanya cinta. Hatinya seakan mati membuat ia enggan membuka hati dan merajut kasih dengan wanita mana pun. Apakah Abhi akan tetap bertahan dengan pri...