5. Hipnotis

469 101 13
                                    

“Veean melihat kegiatan kita di mobil tadi pagi.”

“Veean melihat kita?” ulang Alice.

Jennie menyapu kasar surai panjangnya yang berkibar karena angin. Mengentak pelan sepatu mahal miliknya di atas hamparan rumput. Setelah mengingat jelas kalimat yang dilontarkan Veean, harga diri dan egonya merasa direndahkan, pikirannya mendadak kosong. Sungguh Jennie benar-benar tidak dapat berkonsentrasi dengan benar saat mendengarkan guru menerangkan di depan kelas tadi siang.

“Apa kita bunuh saja dia?”

Alice tampak menimang sebentar, lalu menggeleng dan berhenti hanya untuk melotot pada Jennie. “Kau gila? Tadi saja, kau hampir membunuh sopir itu. Sekarang kau berniat membunuh orang lagi? Kalau kau melakukan hal ini, pastinya akan menjadi bumerang untukmu. Lalu akibat fatalnya, kau akan berakhir dalam bui, bukan rumah sakit jiwa lagi!” Alice tidak tahu persis Veean itu seperti apa, jelas dia tidak datang di hari pertama sekolah. Roseline menggantikan kegiatannya saat itu. Kepribadian gandanya tak menceritakan hal ini padanya.

Jennie merengut, sembari berpikir. Benar juga, membunuhnya akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Satu-satunya cara tentu hanya dengan membujuk pria itu. Entah mengapa dirinya mendadak buntu ide setelah berhadapan dengan Veean.

“Kalau begitu kau punya cara lain?”
Alice sedikit menggaruk keningnya dengan telunjuknya, lalu menjentikkan jari setelah mendapatkan secercah buah pikiran. “Kita hipnotis saja dia!”

Seringai licik Jennie terbit, itu ide bagus. “Tumben sekali kau pintar, tidak sia-sia aku menjadikanmu kaki tangan.” Jennie mengusap lembut kepala Alice, bak mengusap binatang peliharaan.

Alice pun melepaskan tangan Jennie cepat, bibirnya mencebik menahan gerutuan. Baru saja gadis itu merasa diremehkan lagi.

“Pria tadi pagi bagaimana?”

“Oh dia.” Senyum semringah Alice melebar. “Kau tenang saja. Dokter Jhoni sudah menghipnotisnya.”

Sedikit melebarkan mata, kini Jennie mengerti. Alice ternyata mendapatkan ide ini dari Jhoni. Pantas saja, gadis itu seakan-akan terlihat pintar. Jennie baru saja tertipu karena kebohongan Alice. Berdebat dengan gadis ini hanya akan menghabiskan tenaga dan waktu. Akan lebih baik kalau dirinya mengoptimalkan ide, agar Veean bisa datang ke rumah sakit jiwa untuk dihipnotis oleh  Jhoni.

“Jangan terkejut begitu. Kau biasanya jarang berekspresi. Apa ini karena efek berbicara dengan Veean?” 

Jennie merotasikan bola matanya malas. “Kau pikir saja sendiri!” Alice benar-benar tidak tahu diri. Baru saja bertindak sok pintar di depannya. Lalu sekarang berani menatapnya seakan bersih tanpa dosa. Merasa lelah sendiri,  Jennie mulai berjalan meninggalkan taman tempat mereka berdiri sebelumnya. Sekarang dia ingin pergi menuju ruangan Jhoni. Namun di perjalanan, netranya terjerembap saat melihat sopirnya tadi pagi sudah berjalan menuju parkiran.

Pria itu menatap Jennie dari kejauhan. Lalu membalikkan badan menuju Jennie. Dia melangkah tergesa-gesa hingga hanya beberapa detik posisinya telah berada di depan Jennie dan Alice. Sopir itu menatap mereka dengan raut rasa bersalah. Menggigit bibirnya dan merundukkan kepala. “Maafkan aku Nona, aku mengalami kecelakaan setelah mengantarmu. Dokter di rumah sakit ini adalah korban yang aku tabrak tadi pagi.”

Jennie sontak melotot sebentar, tapi kembali merubah raut wajah datar seperti sebelumnya. Berarti dia tak perlu lagi pergi ke ruangan Jhoni. Berbicara lewat telepon dari rumah lebih efektif untuk saat ini. Karena kalau mereka bertemu, tanda tanya besar akan terlontar lagi. Dia harus lebih berhati-hati lagi, jangan sampai menebar kecurigaan. Satu hal yang Jennie tahu, ingatan pria ini sudah dimanipulasi.

PSYCHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang