Setelah membaca pesan dari Jeki, Una berlari keluar tanpa menjelaskan apapun pada Lisa, membuat sahabatnya panik bukan main. Berulang kali Lisa menghubungi ponsel Una, namun sialnya Una meninggalkan ponselnya di apartemen dalam keadaan terkunci.
Kini Una sudah berdiri di depan pintu apartemen Jeki dengan perasaan gugup. Ini adalah aksi ternekatnya seumur hidup, namun ia mencoba untuk tidak gentar. Demi Ibunya yang sedang meregang nyawa, Una pasti sanggup melakukan apapun walau harus mengorbankan dirinya sendiri.
Setelah menunggu beberapa menit, Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang kala ia mendengar langkah kaki seseorang mendekat ke arahnya. Kepalanya otomatis tertunduk dalam, tak sanggup melihat wajah pria yang sebelumnya ia tolak mentah-mentah. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri, tapi sudahlah persetan dengan harga diri, yang jelas Una membutuhkan Jeki untuk menyelamatkan Ibunya.
“kenapa masih di luar?”
Deg,
benar saja itu Jeki, kenapa pria itu cepat sekali datangnya, tolong Una belum siap.“emm i..itu” una gugup bukan main, lidahnya terasa kelu, bahkan untuk berbicara saja ia kesulitan.
“mau sampe kapan kamu lihatin lantai? Apa lantai apartemen lebih menarik dari muka saya” Jeki mengangkat dagu Una, membuat gadis itu melotot kaget dan ingin sekali menampar tangan lancang Jeki, namun wajah pria itu terlalu mengintimidasi, membuatnya diam tak berkutik.
“saya di depan bukan di bawah” tegasnya lalu menyilangkan tangannya di depan dada, sambil mengamati penampilan Una dari atas sampai bawah. “ngapain nunggu di luar, kamu kan tahu pasword apartemen saya, kenapa nggak langsung masuk aja?”
Glek, Una menelan ludahnya susah, masalahnya Jeki bertanya sambil menatap matanya intens, membuat debar jantungnya makin tak terkendali “i..itu Om, emm anu, nggak sopan kalo saya langsung masuk aja, iyah gitu” katanya gugup.
Jeki mengangguk-angguk setuju, “baiklah, sekarang minggir”
“hah?”
“minggir, kamu ngehalangin saya buat buka pintu”
Una menengok ke belakang, dan benar saja ia berdiri tepat di depan interkom pintu apartemen Jeki. Reflek ia mengetuk kepalanya sendiri “owh iyah, maaf om silahkan” katanya setelah bergeser ke samping.
Diam-diam Jeki mengulum senyum, entah kenapa tingkah gadis itu selalu membuatnya gemas. Selama Jeki sibuk menekan tombol di interkom, Una sibuk merapal doa dalam hati, semoga Jeki tidak mengajukan syarat yang aneh-aneh.
“silahkan masuk” ucap jeki setelah pintu terbuka
dengan hati-hati Una melangkah masuk, entah kenapa ini lebih mendebarkan dari ujian nasional dan lebih menakutkan dari rumah hantu. Jeki bersyukur dua sahabat kunyuknya sudah pergi meninggalkan apatemen dalam keadaan rapih. Semoga mereka tidak melakukan hal-hal aneh seperti bercinta di sofanya atau kamar mandi. Awas saja kalau berani!
“silahkan duduk” katanya mempersilahkan, tapi Una terlalu enggan untuk menaruh bokongnya di sofa empuk milik Jeki.
“bisa langsung aja nggak OM”
“langsung?” Jeki menoleh kaget “wahh nggak sabaran juga kamu ya"
“bu..bukan gitu, maksud saya, bisa nggak kita langsung bicara ke intinya aja, nggak perlu basa-basi, saya juga nggak butuh jamuan apa-apa”
“emang siapa yang mau ngejamu kamu?”
Ok Una diam, tidak jadi melanjutkan, dirinya jadi malu sendiri sekarang. “ma..maksud saya”
“OK, jadi siapa nama ibumu dan dia dirawat dimana sekarang?”
“hah?” lagi-lagi Una dibuat melongo kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Daddy
FanfictionUna tengah dilema menentukan jalan hidupnya. Disatu sisi ia benci untuk menjadi kucing peliharaan om-om mesum di depannya ini namun disisi lain ia sangat membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Jadi apa yang akan Una lakukan sekarang. Temuka...