[ 𝙲𝙷𝙰𝙿𝚃𝙴𝚁 𝚃𝙷𝚁𝙴𝙴 ]

127 26 44
                                    

TW // KEKERASAN, CAMBUKAN

Pemuda berambut coklat tua itu dengan cepat menggerakkan kakinya, menyebrangi jalanan yang sepi. "Ah sial, kau benar benar bodoh Lee Minho" gumamnya seraya mempercepat tempo larinya.

Tadi ia benar benar lupa waktu saat bermain dengan beberapa kucing liar didekat minimarket. Ia terus saja berbicara tak jelas pada kucing kucing itu menggunakan suara bernada tinggi, seperti berbicara dengan anak bayi saja.

Ia berhenti didepan rumahnya dan mencoba untuk menetralkan nafasnya. Ia berdiri didepan pintu coklat dan memegang gagang pintunya. Ia menelan ludahnya, berdebat dengan dirinya didalam hati.

Apakah ia masuk saja? namun luka luka yang tercetak ditubuhnya belum pulih dengan sempurna, bahkan hampir belum pulih sedikitpun. Tetapi jika ia tinggal semalam diluar, hukumannya sudah tentu akan lebih berat.

Ia menghela nafas dalam, tangannya menguatkan cengkraman pada gagang pintu sebelum memutarnya. Ia segera disambut oleh ibunya yang duduk di sofa dengan kakinya yang tersilang.

"Lee Minho" Minho merinding mendengarkan ibunya memanggil dirinya. Ia segera masuk kedalam dan berdiri di dekat pintu, tatapannya meluncur ke lantai.

"Siapa yang membiarkanmu pulang begitu malam, hah?" Wanita yang terduduk disitu menaikkan alisnya. "Kau memiliki mulut dan pita suara kaparat, jawablah pertanyaanku" Wanita itu menegakkan badannya dan memandang Minho dengan tatapan yang memanas.

"T-tadi aku ha-rus mengerjakan tugas tambahan-" "Omong kosong!" Minho menutup matanya dengan rapat untuk sementara, bahunya menegang saat mendengarkan ibunya berdiri. "Kemari kau" Ucap wanita itu dengan tegas, mau tak mau Minho menurutinya.

Melangkahkan kakinya mendekat dengan pelan, matanya melekat pada cambukan yang berada di tangan ibunya. Rasanya ia ingin merutuki siapa pun yang menciptakan alat itu.

Ia merasakan tangan ibunya berada di belakang lehernya, "Lihat aku Minho" Ia perlahan menaikan kepalanya, menunjukkan sang ibu beberapa lebam dan goresan luka yang ada dimukanya. Tapi mana ibunya peduli, dari awal yang menciptakan luka luka itu adalah dirinya.

Tangan ibunya berpindah ke pipi Minho, ibu jarinya menekan lebam sudut bibir anaknya membuat Minho meringis kecil. Sang ibu mengeluarkan tawa kecil dan memutarkan bola matanya.

"Sebaiknya lain kali kau jangan mencoba untuk membohongiku" Wanita itu menjauhkan tangannya dari wajah Minho. "Aku tahu kau sangat suka bermain dengan kucing kucing sialan itu" Sekali lagi Minho menelan ludahnya.

"Kau memang tidak memiliki rasa bersyukur terhadap ibumu ini" Setelah melontarkan kata kata itu, sang ibu melayangkan cambukan itu dan mengenai punggung Minho.

Tubuhnya segera melemah dan terjatuh, ia meringis merasakan pedihnya efek cambukan itu. Wanita itu berjalan ke belakang Minho dan melayangkan cambukannya pada bahu Minho.

Walau ini sudah sering terjadi, tapi sepertinya Minho tak akan pernah terbiasa dengan rasa sakitnya. Ia memegang pundaknya sambil meringis, matanya menciptakan lapisan air mata.

Sekali lagi, ibunya mendaratkan cambukan itu pada punggung Minho, membuat anaknya mengeluarkan teriakan. Minho merasakan darah mengalir dari punggungnya, cambukan barusan ini telah mengenai lukanya dan membukanya lagi.

Air mata membasahi kedua pipinya, ia mengeluarkan isakan isakan. "Letakkan tanganmu dilantai" Wanita itu memerintahkan. Minho terpaksa
menuruti, ia meletakkan tangannya didepannya dilantai.

Ibu Minho berjalan kedepannya dan menjatuhkan cambukan pada tangan Minho. Minho memalingkan wajahnya saat merasakan perihnya, "Sekali lagi berbohong, aku bisa saja memotong kedua tanganmu ini" Dan ia menyambuk tangan Minho sekali lagi.

𝒔𝒕𝒓𝒂𝒚 𝒐𝒏 𝒕𝒉𝒆 𝒓𝒐𝒂𝒅 -- stray kidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang