Chapter 12

174 29 5
                                    



Mereka memberi Yerim pilihan, bertahan atau istirahat. Kurasa kali ini sesuatu sedang menyentuh hati mereka.

Ucapan Joy tadi terus terngiang di kepala Irene selama kakinya melangkah menuju kamar Yerim. Perlahan membuka pintu. Yerim sudah berbaring membelakanginya. Entah apakah sudah tidur atau pura-pura terlelap.

"Sudah tidur, Rim?" Irene berlutut di hadapan Yerim. Benar kata membernya, mata anak itu sembab. Ia menyingkirkan rambut Yerim ke belakang agar leluasa memandangi wajahnya. "Lelah ya hari ini?"

Tidak juga ada jawaban. Irene hanya menghela napas dan memutuskan tidur di sisi Yerim. Memandangi langit-langit kamar dalam kesunyian dan isi pikirannya sendiri. Gadis di sampingnya ini sedang mengalami masa-masa yang berat. Irene tidak tahu apa yang mereka lakukan ini benar atau tidak, apa yang benar apa yang salah. Tidak ada yang bisa diduga.

"Kau sudah tidur, Rim?" Lagi-lagi bertanya. "Ya sudah, istirahatlah. Aku di sini." Irene menarik selimut dan mencoba untuk tidur. Tidak bisa. Berjuang untuk tidur selama sepuluh menit nyatanya tak kunjung membuatnya terlelap. Irene yakin seharian ini ia tidak meminum kopi.

"Aku tidak bisa tidur, Rim. Padahal badanku lelah." Mungkin bicara sendiri saat ini lebih baik daripada mencoba menghitung domba-domba. "Bagaimana dengan hari ini? Kau tidak kelelahan, kan? Maafkan aku tidak bisa ikut bersamamu. Kau masih meminum obatmu, kan?" Mengerjap. Masih juga belum bisa tidur. "Aku khawatir padamu, Yerim."

Sesuatu bergerak di sampingnya, mendapati Yerim mengubah posisi tidurnya kini menghadap Irene. Mata Yerim masih tertutup, tetapi Irene tahu gadis itu mendengarkan karena sebenarnya belum sungguh terlelap. Irene mengubah posisinya untuk lebih dekat. Menelan ludah. Ia belum pernah berada dalam situasi sendu seperti ini.

"Kenapa matamu seperti ini? Apa Wendy dan Seulgi membuatmu tidak nyaman?" Irene menelusuri bekas sembab di sekitar mata Yerim. Berharap gadis itu menjawab. Berharap dia mau bercerita. Yerim tidak tahu bagaimana tertekannya mereka karena hanya bisa menduga-duga selama ini. Yerim telah menutup seluruh hatinya yang sebelum ini selalu terbuka lebar dan tidak menyisakan satu celah pun. Terkunci.

"Ingat tidak waktu kau memintaku mengajarimu tugas matematika, tetapi aku lelah. Kau meminta bantuan Seulgi, dia juga lelah. Kau hanya berdiam diri di kamar seharian itu. Sibuk mengerjakan soal. Tidak peduli makan, tidak peduli kami. Kau sibuk sendiri. Padahal di luar Wendy mengingatkanku karena tidak seharusnya aku mengusirmu. Aku sadar kau lebih lelah, Rim. Pagi sekolah. Malam latihan. Besoknya tampil. Seperti itu terus. Belum lagi, kau tidak dibiarkan melihat ponsel lama-lama agar tidak bisa melihat komentar buruk di sana." Irene merasakan sepasang tangan memeluknya, hangat. Ia tersenyum sedih. "Maafkan aku. Aku belum bisa menjadi kakak dan teman yang baik untukmu. Mulai sekarang aku akan berusaha. Terus berusaha untuk tetap berada di sini. Bahkan seandainya kita sudah berada pada jalan masing-masing. Saat masa bersama kita telah habis, aku akan terus berusaha berada di sisimu, di sisi kalian. Bukankah tidak semudah itu melupakan sesuatu yang berjalan berbelas tahun, berpuluh tahun lamanya? Sama seperti aku mengenalmu, mengenal kalian berempat."

Seusai mengecup puncak kepala Yerim, matanya terpejam. Kali ini ia sungguhan berhasil terlelap.


*****


"Sepertinya kau benar-benar sudah membenciku, ya? Tidak ada celah sama sekali, padahal sudah kupersiapkan ini untuk kuberikan padamu, Kwan." Suara tawa renyah mengiringi kalimatnya barusan. Seolah mengejek Arthur Kwan yang bodoh menolak semua pemberiannya. Perusahaan, peternakan, perkebunan, banyak bisnis. Apa lagi namanya kalau bukan bodoh?

EPOCH [Kim Yerim]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang