Chapter 18

155 24 5
                                    


Sampai sejauh ini, di awal aku sudah memperingatkan kalau cerita ini sungguhan hanya fiktif, meskipun berdasar pada kehidupan aslinya. Serius deh, aku merasa kadang beberapa poin jalan ceritanya kok bisa pas gitu lho sama apa yang terjadi aslinya, sampai kadang aku takut memasukkan ide asli ke cerita karena takut jadi sensitif. Mungkin ada yang merasa juga? Seriously, aku sama sekali nggak bermaksud untuk begitu, jadi semoga sejauh ini masih bisa diterima.

########


Artikel tentang Red Velvet langsung menjadi yang teratas. Tanggal sudah dirilis. Semua menyambut antusias. Yerim adalah angin segar bagi para penggemar yang selama beberapa bulan ini dibuat menunggu. Idola yang mereka nantikan kembali dengan formasi lengkap. Mari menyambut hari baru, meski bukan berarti melupakan yang lalu. Kisah tentang Yerim tidak boleh diungkit oleh siapa pun di kalangan penggemar maupun umum. Irene bersyukur penggemarnya begitu dewasa menyikapi.

Yerim sendiri berusaha untuk bangkit. Keputusan tetap menjalankan kontrak sudah ia pikirkan matang-matang. Yerim ingin kembali sibuk. Ingin badan dan pikirannya kembali lelah sehingga tidak punya waktu untuk menengok ke belakang. Ia tidak boleh terkungkung pada bayangan yang membuat dadanya sesak dan sakit. Yerim tidak berbohong jika dirinya masih merasakan kehampaan seperti hatinya telah mati rasa. Oleh sebab itulah Yerim mencoba mengalihkan pikirannya pada pekerjaan. Cukup terbukti selama beberapa minggu latihan untuk persiapan comeback, Yerim mulai bisa mengurangi intensitas melamunnya. Kalaupun ia melamun lagi, Wendy dengan sigap menyodorkan makanan ringan dan mengajaknya bicara. Saat Yerim tidak fokus, maka Joy yang akan menghibur dengan lelucon-leluconnya. Semua memiliki peran, tinggal Yerim sendiri yang harus berusaha kuat melupakan.

"Setelah ini bersihkan diri dan ganti pakaianmu, Irene Eonni mengajak kita makan malam." Seulgi datang membawa satu set pakaian pada Yerim, memasang senyum hingga matanya menyipit. Mereka baru saja selesai latihan. Jika dihitung-hitung, total sembilan bulan mereka beristirahat. Kini tinggal menghitung waktu kurang dari tiga minggu menjelang perilisan lagu baru. Dua minggu yang lalu mereka bahkan sudah menyelesaikan syuting dan melakukan pemotretan. Waktu berjalan bagai peluru, padahal Yerim merasa harus menunggu waktu hingga rasanya ingin menyerah.

"Kau mendengarku, kan, Yerim?" Seulgi menundukkan badannya, Yerim seperti terkaget. Benar saja, Yerim melamun lagi. "Aku tunggu di ruang istirahat, oke?" Tersenyum lagi, mengacak rambut Yerim dan meninggalkannya sendirian di ruang latihan yang kosong.


***


Irene tidak main-main dengan ajakan makan malam. Maksudnya adalah bahwa Irene sampai memesan kursi khusus hanya untuk mereka berlima di restoran milik Arthur. Benar, Irene menggunakan kartu nama yang diberikan Arthur agar bisa langsung memesan pada sang pemilik restoran, mendapatkan pelayanan sangat spesial dengan tempat terbaik dan penjagaan ketat. Mereka tengah duduk melingkar di lantai atas, kerlipan bintang dan bulan yang menggantung di langit menjadi teman yang menenangkan. Tidak akan ada yang datang di lantai atas ini kecuali pelayan dan tentu saja Arthur sendiri. Agak terkejut karena satu sama lain ternyata sudah mengenal, paling tidak sudah pernah bertemu meski hanya satu kali. Lupa bahwa mereka setidaknya pernah membicarakan sosok Arthur ini. Wendy bahkan menyebut ini sebagai takdir.

"Nikmatilah waktu kalian sepuas hati di sini, suatu kehormatan bagiku bisa melayani Red Velvet." Arthur membungkuk dan tersenyum, berlagak profesional padahal Irene telah memintanya untuk bersikap layaknya teman. Mereka menyediakan sebuah kursi kosong untuk Arthur jika sewaktu-waktu pria itu ingin bergabung.

"Ah, tempat yang enak." Joy menghirup udara malam, menghembuskannya panjang. Memandang lampu-lampu gedung ibukota di kejauhan. Melepaskan lelah yang ia rasakan beberapa minggu ini. Berlatih tidak pernah berhenti.

"Terimakasih sudah menyukai tempat ini." Arthur datang membawa beberapa makanan langsung (bukan diantarkan pelayan) dan memutuskan untuk duduk di kursi yang tersedia.

Semua member terlihat tersenyum padanya, kecuali Kim Yerim. Arthur meringis, dengan raut wajah begitu bagaimana Arthur bisa tahu Yerim suka atau tidak? Menghela napas. Yerim yang posisinya tepat di sebelah pembatas dan persis berhadapan dengannya lebih sering menengok ke samping, melihat pemandangan perkotaan. Angin malam kadang-kadang berembus kencang, kadang tidak, jadi kadang pula Arthur dapat menikmati sapuan angin pada rambut Yerim hingga memperlihatkan separuh wajah gadis itu. Arthur heran, separuh wajah Yerim sering sekali tertangkap matanya.

"Sudah berapa lama restoran ini berdiri?" Pertanyaan Wendy tiba-tiba membuyarkan lamunan Arthur. Tersenyum kikuk. Takut ketahuan baru saja memandangi Yerim. Tetapi untungnya tidak ada yang menyadari karena sibuk mengunyah dan mengobrol beberapa lama.

"Kurang lebih satu tahun. Masih baru memang, aku juga masih belajar untuk berbisnis."

"Apa kau memang sudah menetap lama di sini, Kwan-ssi? Bahasa Koreamu fasih sekali." tanya Seulgi.

"Ah, itu. Kurang lebih lima tahun. Ibuku seorang Korea."

"Oh, benarkah? Aku memang sudah menduganya, sih." Joy ini begitu ekspresif memang, bisa terkejut, bisa senang, bisa datar di waktu yang berurutan. Lihat saja, sekarang ia sudah memotong steiknya lagi saat yang lain mengira Joy akan melanjutkan kata-katanya.

"Pantas tidak ada marga di namamu. Ah, iya, katakan saja jika pembicaraan kita terlalu mengganggu privasi."

"Tidak masalah." Arthur tersenyum. Irene juga ikut tersenyum. Sejujurnya Arthur gatal ingin menanyakan sesuatu pada Yerim yang sedari tadi diam membisu. Makanan gadis itu pun sampai detik ini baru habis seperempat. Tapi biarlah, setidaknya Yerim baik-baik saja sekarang sudah lebih dari cukup bagi Arthur yang tidak begitu mengenalnya.

Mereka terus mengobrol, kecuali Kim Yerim yang hanya menyahut seadanya. Lebih sibuk makan dan menjadi pendengar. Tidak terasa malam semakin matang. Makan malam telah selesai dan semuanya masuk satu per satu di mobil yang akan dikendarai Seulgi. Irene menjadi orang yang terakhir. Sebelum masuk, ia menghampiri Arthur yang berdiri tidak jauh dari mobil.

"Terimakasih sekali lagi untuk makan malamnya, Kwan-ssi. Terimakasih pula telah menyelamatkan Yerim. Tidak ada yang lebih kusyukuri dari itu."

Arthur mengangguk paham. Akhirnya mengerti mengapa mereka semua terlebih Irene bersikap begitu hangat kepadanya. Tidak lain karena dirinya seperti seorang pahlawan yang begitu berjasa besar telah menyelamatkan nasib satu anggota mereka.

"Kami pamit." Baru saja beberapa langkah, Irene berbalik lagi. Memasang senyum keibuan. Arthur gugup dengan senyum yang tiba-tiba itu. "Yerim masih muda. Masih dua puluh satu tahun. Kau tahu, kan?"

Arthur tertawa canggung. Irene masih memberikan senyum yang sama sebelum berbalik. Arthur berseru ringan. "Aku bahkan juga lebih muda dari Seulgi dan Wendy."

Irene menoleh dan mereka tertawa bersama. Setelah itu Irene langsung menuju ke mobil, bergabung dengan Joy dan Wendy di kursi belakang. Sedangkan di kursi penumpang depan ada Yerim. Kaca mobil semuanya terbuka untuk memperlihatkan lambaian tangan perpisahan malam ini. Senyuman di wajah Arthur masih belum luntur. Apalagi samar-samar ia melihat Yerim menyunggingkan senyum tipis kepadanya walau agak tertutupi Seulgi.

Arthur meyakinkan dirinya tidak salah lihat. Setelah mobil itu pergi, Arthur masih mematung di sana berikut sebuah senyum yang masih tercipta.

Bulan dan bintang nampak indah dan menenangkan dirinya, seperti senyum itu.


***


EPOCH [Kim Yerim]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang