Chapter 12: The End

4.8K 510 95
                                    

Ada yang masih melek?
Happy Reading!

.

.

Malam yang biasanya Nayaa habiskan dengan menonton Youtube atau sekedar meneguk segelas coklat panas, harus sedikit terganggu saat kakaknya memaksa dengan keras dirinya untuk pergi ke suatu tempat (yang katanya spesial).

Beradu argumen sudah menjadi makanan sehari-hari, tidak heran mobil menjadi ladang keduanya adu mulut.

"Lo mau bawa gue kemana, sih?!"

"Kepo banget! Nurut aja!"

"Lo mau nyulik gue ya?! Terus mau jual gue?! Iya 'kan?!"

"Bacot! Diem dulu!"

Adu mulut terhenti seiring mobil yang turut berhenti. Sedikit mengernyit saat melihat salah satu restoran paling mahal di Jakarta, kini terpampang nyata didepan mata si Manis.

"Lo abis nyolong apa gimana sih, kak? Tadi beliin gue baju mahal, sekarang ngajak makan di restoran mahal," gerutu Nayaa kesal, yang mana hanya ditanggapi dengan tarikan kasar dari sang Kakak.

Ketika pintu kaca restoran terbuka, Nayaa total terpana melihat desain ruangan yang terlihat luar biasa 'romantis'. Banyak lilin dengan aroma terapi, hingga pemain piano dan biola yang saling menyatukan melodi hingga terdengar bunyi lagu klasik khas tahun 90'an. Para tamu undangan kosong; seperti tempat ini memang sudah disewa khusus.

"Nah, adek gue yang manis, cantik, lucu, lo duduk aja disini, oke? Gue mau ke belakang dulu.

Mengangguk patuh Nayaa lakukan. Dalam hati bergumam ribuan terima kasih untuk sang Kakak yang sudah mengajak dinner di salah satu restoran impiannya sejak dulu.

Al-Nafoura; menjadi urutan pertama sebagai restoran yang sangat ingin Nayaa kunjungi.

Kilas balik saat dulu sekali, Nayaa sering kali bercerita dengan sang Kakak bahwa Ia ngin dilamar di restoran Eropa ini. Tidak menyangka saja kini Tazya mengajaknya kesini. Mengingat perekonomian keluarganya yang berada dibagian menengah (tidak terlalu kelas atas), Nayaa sering kali mengurungkan niat ingin mengunjungi restoran tersebut.

Hampir lima belas menit menunggu sendiri, Nayaa hampir saja tertidur diatas meja. Musik klasik yang melantun lembut menambah nafsu menggebu ingin segera menutup mata.

Satu tegukan susu pisang (yang entah kenapa bisa ada disini) diharapkan bisa mengusir rasa kantuknya, walau hanya sedikit. Setengah jam nyaris empat puluh lima menit, belum ada tanda-tanda kemunculan sang Kakak. Menguap kelima kalinya sebagai penutup sebelum matanya menilik kearah kakaknya yang kini berjalan gontai menghampirinya.

"Udah mesen makanannya? Jutaan tahun gue nunggu."

"Diem dulu, dek, gue lagi nunggu seseorang."

Tazya duduk dengan gelisah didepan Nayaa. Ujung gaun hitam mengkilatnya dipilin pelan, sementara satu tangannya menari gelisah diatas layar ponsel.

"Nunggu siapa, sih? Gue laper, Kak."

Si Jisung Anjing Alvano mana si, setan. Itu Tazya, membatin cemas sambil menggerutu.

"Lima menit, tunggu oke?"

Tazya kembali berdiri, menempelkan ponselnya di telinga, dan kembali menurunkan benda persegi panjang tersebut dengan lesu.

Hingga ketika kakaknya menerima satu panggilan, wajahnya mendadak pucat, lalu berteriak heboh dan menarik tangan Nayaa gusar.

"Buruan, Le, kerumah sakit sekarang!"

Sorry Not Sorry | Jichen ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang