Prolog

1 0 0
                                    

Aku seharusnya sadar tentang tempat ini. Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh itu? Tidak, bagaimana mungkin kita bisa sebodoh ini? Jika aku mengingatkan mereka tentang kecurigaan ini secepat keberanianku. Mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini. Sekarang harapanku bagai jarum pasir di butir terakhir yang akan jatuh.

Saat ini aku masih bersembunyi di dalam kegelapan. Kurasakan kapasku kian memberat. Demit itu masih di sini.

Suara itu kembali terdengar, bunyi reyot pintu yang dibuka secara pelan itu mengiris gendang telingaku, ada hawa dingin yang berhembus melalui celah pintu yang mulai terbuka. Aku semakin takut. Kucengkeram wajahku dengan kedua tanganku, basah, dan hangat. Darah masih membasahi keningku. Kapan mimpi buruk ini berakhir.

Bunyi derapan kian menggaung, demit itu semakin mendekat, ia mengeluarkan suara parau yang berat. Dia mengintip di setiap lorong celah meja dan kursi. Demit itu mulai kehilangan kesabaran untuk membunuhku.

Siluet demit itu sungguh mengerikan. Apabila malam itu bulan tidak semenyala hari biasa, mungkin aku tidak akan bisa menerka dimana demit itu. Dia itu nampak lengah, dia meringis seperti sedang menangis, menatap cahaya bulan dihadapannya.

Apakah ini kesempatanku? Dengan tangan yang gemetar. Aku merangkak keluar dari dalam lemari yang gelap. Aku terus merangkak perlahan, kurasa demit itu tidak menyadarinya. Sewaktu pintu sudah di depan wajahku aku bangkit dan bersiap berlari.

Tiba-tiba mahluk itu sudah berada di balik pintu, wajahnya ditutupi rambut berwarna pucat yang panjang sampai ke lututnya. Aku tidak bisa melihat mata mahluk itu, hanya hidung bengkoknya yang muncul di balik helai rambut kusut kelabunya. Dia mengangkat kedua tangannya yang kurus dan panjang. Kuku-kukunya tumbuh seperti taring serigala. Ia hendak menangkapku.

Aku berlari menabraknya, dan lenganku tercakar. Perih, panas, seperti terbakar rasa luka itu. Aku berusaha menahan dengan menekan lukaku. Aku tiba di lorong lalu menuruni tangga spiral hingga bunyi berdebum seolah kakiku menghantam papan kayu yang usang.

Aku harus segera meninggalkan tempat ini, tapi aku terlalu panik. kakiku menyenggol sebuah ujung meja dan aku jatuh tersungkur. Rasanya, aku ingin menangis sejadi-jadinya, berteriak dan menjerit meminta pertolongan. Tapi siapa yang akan menolongku?

Aku berusaha terus bergerak, berjalan dengan langkah tertatih. Dimana demit itu?

Saat ini ruangan sangat gelap melebihi malam, lantainya banyak sekali dipenuhi pecahan beling gelas dan piring. Meskipun aku merasa telapak ini tertusuk pecahan beling. Entah sudah berapa pecahan itu menusuk dagingku. Aku terus menahan tangis dan melangkah menuju pintu keluar.

Aku kembali terjatuh, aku merasa aku sudah tidak sanggup lagi berjalan. Tubuhku semakin lemah. Kakiku semakin berat. lukaku semakin terasa panas. Sewaktu aku mulai roboh. Aku mulai berserah. Tanoa berani melihat, Demit itu menangkapku dan menarikku. Aku terlempar, tapi aku sudah tidak peduli, mungkin ini adalah akhir hidupku.

Jika memang nyawa manusia itu singkat, mengapa aku harus mengalami rasa singkat itu dengan hal yang mengerikan. Tapi aku hanyalah manusia yang hidup di dunia tidak tertebak. Hanya sedikit penggalan kisah suka dukaku selama aku hidup, mungkin kali ini aku mendapat akhir yang yang menyedihkan.

Aku merasakan tubuhku terseret seperti bangkai anjing di jalan. Siapa pun bahkan apa pun yang menarik tubuh ini, aku tidak akan melawan lagi. Mataku semakin terpejam, dan semua terasa semakin gelap dan hening.

TAMU TAK DIUNDANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang