2

1 0 0
                                    


Aku merasa raut wajah Mas Damar berubah ketika ingin mengetuk pintu didepannya. Saat ini aku tidak melihat sesuatu yang cuek dari dirinya, aku melihat seolah kepalanya disiram air es. Aku selalu menghindarkan pikiran yang buruk. pada akhirnya aku menjadi kembali gugup, padahal sebelumnya aku mulai menghangat ketika bertemu Mas Randy dan Mas Johan.

Dilihat dari ukiran yang terpahat di pintu itu, aku tau ruangan ini pastilah ruangan Pak Herman. Aku tidak mau mengakui ini kepada kalian, tapi aku berani bersumpah, telapak Mas Damar agak berkeringat. Mas Damar mengetuk perlahan dengan tiga ketukan, sejenak hening..

"Masuk," suara itu lebih berat, itu adalah suara Pak Herman.

Sewaktu masuk, aku mencium aroma bunga yang merekah. Ruangan itu lebih luas dari ruanganku, sebuah meja kaca dengan rangka kayu berdiri didampingi dengan kursi sofa yang memanjang. Ruangan itu nyaman, di desain seperti ruang pribadi dengan meja kantor. Siapapun anak baru yang pertama kali masuk ke ruangan ini, mereka pasti akan takjub dan sulit untuk menahan mulut untuk menganga. Hanya saja ada hal yang mengangguku, hiasan sepasang topeng wayang dengan wajah hidung dan kelopak yang tajam seperti pisau.

Di atas meja Pak herman juga berdiri sepasang hiasan wayang orang dengan kebaya merah dan hidung pesk yang menonjol, menggunakan mahkota dengan perhiasan batu kecil yang berkilauan dan selendang merah yang panjang.

Aku ingat sedikit tentang wayang, karena kakekku suka dengan pertunjukan wayang orang. Sewaktu kecil aku pernah melihat kakek membawa sepasang wayang kulit dan memainkannya untuk menghiburku saat aku menangis karena tidak dibelikan boneka. Berbeda dengan wayang kakek dulu. Entah mengapa wajah-wajah topeng itu seperti memperhatikanku dari kejauhan.

Beraneka kue kering mengisi atas meja tengah ruang Pak Herman, di dekat pintu masuknya ada meja dengan papan nama Angelica, duduk seorang wanita dengan hidung mancung dan mata yang sipit. Rambut dia lurus bergelombang berwarna terang, dia pasti rajin ke salon.

Perawatannya melebihi diriku. Tentu saja, gaji dia pasti sangat besar, seandainya aku setara dengannya, aku juga bisa mempercantik diriku lebih dari itu. Sebagai sesama perempuan aku sedikit iri, tapi satu sisi aku kagum dengannya.

Meja Pak herman berada di sisi ujung. Pak herman memiliki perut yang agak buncit. Dia berkacamata dan berkumis tebal. rambut atasnya tidak ditumbuhi banyak rambut, mengingatkan aku pada tokoh-tokoh penjahat di film sinetron. Sepertinya aku sudah berpikiran kurang ajar terhadap atasanku, aku menahan senyum.

Tapi satu hal yang aku belum ceritakan pada kalian, dia memiliki cincin giok yang lengkap di seluruh jari kirinya. Aku tidak terlalu kuatir dengan itu, ayahku juga memiliki satu cincin akik yang diperoleh dari Buton. Sedangkan Pak Herman? Seandainya mereka duduk berdua, pasti mereka akan berbincang sampai pagi untuk bicara tentang urusan batu akik.

"Pe-perkenalkan, saya Meisa, mulai hari ini supporting sistem di sini."

"Hai Meisa, gugup banget ya? Jadi inget waktu aku anak baru kaya kaya, take it flow aja ya Meisa, nanti juga kamu bisa kaya aku," kata Mbak Angel, aku merasa kata-kata itu seperti menusukku. Apakah dia ingin menyemangatiku atau merendahkanku?

"Mbak Angel ini sekretaris Pak Herman," kata Mas Damar, memecah ketegangan. "Dan Pak Herman ini Manager divisi kita."

Pak Herman tersenyum, "ayo duduk dulu."

Mas Damar kelihatan ragu, tapi itu terjadi sangat cepat dan dia mulai duduk. Aku mengikuti.

Pak Herman memajukan kursi putarnya yang besar, seolah ingin memandangku dengan jelas dari mejanya, "sekali lagi, saya mengucapkan selamat bergabung ya Meisa, semoga bisa betah, dan mampu beradaptasi dengan cepat."

Aku merasakan wibawa yang besar dari Pak Herman. Nadanya lebih berat dan lugas, sangat berbeda sewaktu penyambutanku di awal. Dosen pembimbing skripsiku pun mungkin setua dirinya, tapi Pak herman mampu membuatku merasa segan, dan membuat aku semakin menghormatinya.

"Terima kasih pak, saya akan melakukan yang terbaik," kataku.

Lagi-lagi aku mencium semilir aroma melati dari ruangan ini. Dalam berdiriku yang formal, aku melirik ke arah topeng itu lagi. Aneh, mereka tadi benar-benar melihat kepadaku. Ah, lupakanlah, aku hanya terlalu gugup.

"Jadi hari ini sudah tau mau mengerjakan apa?" kata Pak Herman, jempol kanannya mengusap-ngusap batu di cincinnya satu persatu.

Jantungku kembali berdegub kencang, sewaktu tadi Mas Damar belum memberiku sesuatu untuk aku kerjakan, dia bahkan menolak untuk kubantu. Tapi aku sangat paham kondisi ini, aku tidak boleh menjawab seperti itu, secara tidak langsung aku seperti menjatuhkan Mas Damar secara tidak langsung di hadapan Pak Herman. Aku sangat bingung, tidak mungkin aku hanya berdiam lama, nanti aku akan dianggap tidak memiliki inisiatif dalam bekerja.

"Saya baru saya merapikan beberapa data klien dari Mas Johan, sudah siap nanti saya akan tutor Meisa untuk perekapan Pak, untuk lebih mudah," kata Mas Damar tiba-tiba. Pipiku memerah, Mas Damar membuatku kagum. Dia tidak secuek yang kubayangkan.

"Begitu," kata Pak Herman mengangguk. "Selamat melanjutkan pekerjaan kalau begitu."

Aku merasa Mas Damar menunjukan gerik ketidak betahannya di ruangan ini, apakah dia mencium bau melati juga? Atau dia takut dengan hiasan-hiasan topeng itu?

Mas Damar mohon pamit dan menunduk, aku pun kembali mengikuti gerakannya, Mas Damar lalu membuka pintu untuk mempersilakan aku keluar duluan. Sewaktu aku selelsai menunduk, aku memberi senyum hangat pada Mbak Angel dan Pak Damar sebagai bentuk terima kasihku. Saat aku keluar ruangan, aku menelan ludahku. Aku menghirup napas panjang dan menghembuskannya.

Aku yakin dan sangat yakin, sewaktu aku tersenyum. Pak herman, dia melirik mataku dengan tatapan yang lapar.

TAMU TAK DIUNDANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang