5

1 0 0
                                    


Jam kerja kedua yang aku lalui terasa sangat cepat, dengan kesibukanku menginput data dari Mas Damar. Seperti biasa, Mas Damar pun terlarut dalam layar netbook-nya. Kadang-kadang jari telunjuknya memutar roda mousenya, mungkin sedang asyik browsing.

Kenapa juga aku harus peduli dengan kesibukan dia? Mas Damar sudah memberikan bagian pekerjaannya. Aku hanya tinggal menginput terus dan terus, sambil mengetik dengan lihai data-data itu. Hanya saja, aku memang merasa kurang nyaman. Aku mengharapkan suatu percakapan di sela-sela kesibukan kita.

Aku bukan perempuan yang betah dalam keheningan. Memang, aku tidak mengharapkan percakapan yang kontinu seakan aku sudah mengenal Mas Damar seperti seorang sahabat. Aku hanya ingin menjalin hubungan yang baik sesama partner di ruangan.

Aku akui aku hanya terlalu sensitif soal itu. Ini masih hari pertamaku, Mas Damar mungkin merasa tidak enak untuk sekedar berbasa-basi. Dia sungguh profesional. Seandainya Mas Damar seperti Mas Randy. Ah, aku sudah melantur terlalu berlebihan.

Mas Damar berdiri, seketika aku merasa Mas Damar akan mengatakan sesuatu, tapi dia menarik kemejanya yang kusut karena terlalu lama duduk. Lalu bergerak keluar ruangan tanpa bicara apa-apa. Dia bahkan tidak menoleh kepadaku. Meskipun sudah hampir sore hari, parfum Mas Damar masih tercium ringan dan manis. Sangat cocok untuk wajahnya yang manis.

Selama ini mantan pacarku dulu selalu humoris. Minimal mereka mudah untuk tersenyum, bahkan bicara. Aku belum pernah harus bekerja sama dengan seorang pria yang cuek. Walaupun Mas Damar cuek tapi aku merasakan kalau dia tidak sombong. Lagipula, apa hubungannya mantan pacarku dengan dia?

Kulupakan saja pikiran aneh itu dan mulai lanjut mengetik.

Mas Datang kembali dengan membawa segelas dengan uap mengepul. Aku mencium wangi kopi hitam.

Setelah tiga jam aku sibuk menginput, Cahaya temaram sudah membanjiri ruang kerjaku, karena jendela tepat berada di belakang. aku merasakan semburat itu semakin menguning. Kulirik jam dan sudah menunjukan pukul 16.25.

Mas Damar segera menutup netbooknya, lalu merapikan dokumen-dokumen yang tertumpuk di meja. "Saya siap-siap pulang ya."

Aku terkejut, padahal itu hanya ucapan biasa saja, tapi aku bingung harus membalas apa. Kenapa aku jadi salah tingkah sih.

"I-iya Mas, hati-hati mas," kataku bimbang.

"Kamu tidak pulang juga?"

Pipiku memerah, setelah sehabis makan siang ini, Mas Damar baru berbicara sebanyak itu. Sangat jarang aku mendengar dia melontarkan sebuah pertanyaan.

"Saya mau input sebentar lagi Mas, yang tahun 2008," aku tersenyum. Aku ingin menunjukan aku sangat semangat di hari pertama kerjaku.

Mas Damar lalu mengangkat kedua bahunya seakan menyerahkan keputusan itu padaku. Apa dia tidak peduli?

Dia tidak berbicara apa-apa dan mulai mengenakan ransel hitamnya. Sewaktu hendak membuka pintu kerja, dia diam sejenak, lalu mengetukkan telunjuk ke pipinya. Aku diam mengamati dari kursiku.

"Kalau Saya jadi kamu," kata mas Damar menengok ke arahku lalu tersenyum, pipiku memerah tiba-tiba. "Saya tidak akan berlama-lama di kantor."

Bagaikan jatuh dari tebing. Aku terbelalak. Apa yang Mas Damar maksud?

Mas Damar pun keluar dan menutup pintu dan pintu berdebum pelan. Dia meninggalkanku dalam diam dan benak yang di penuhi pertanyaan.

TAMU TAK DIUNDANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang