6

2 0 0
                                    


"Tadi pagi sarapan kan?"

"Sarapan ma," kataku sambil menjepit ponsel itu bahuku. Saat ini Kedua tanganku sedang sibuk mengelap kamera mirrorless digital hadiah dari papa. Kamera ini adalah kamera kesayanganku karena papa kejutan saat pengumuman kelulusanku dengan predikat sangat memuaskan.

Kalau aku meminta mama untuk menelpon nanti, mama pasti akan marah dan mencoba menelponku sampai aku memberinya kabar.

"Gimana di kosan? Kamu betah?"

"Betah ma," konsentrasiku terpecah karena aku sedang mengelap lensa dengan hati-hati.

"Kerjaan kamu gimana? Ada kesulitan? Kantornya nyaman?" kata mama masih melanjutkan.

Karena aku merasa pegal, aku mengubah panggilannya menjadi mode loudspeaker, lagipula pipiku terasa panas. Aku taruh ponsel di meja lalu aku mengangkat kamera itu untuk memastikan tidak ada debu-debu lagi yang menyelinap.

"Baik ma, aku masih bisa menyesuaikan kok,"

"menye- apa?" kata mama mengulang.

Pasti mode loudspeaker membuat suaraku jadi gaung di sana, maklum mama menelponku dengan via whatsup dan aku hanya mengandalkan wifi kosan yang lelet. Terlebih lagi mama menelpon dari Bandung.

"Menyesuaikan ma, jangan kuatir ma, semua masih baik-baik aja kok kan aku baru kerja satu minggu."

"Terus kantornya nyaman? Pertanyaan mama yang itu belum di jawab," kata mama dengan nada heran.

Aku menghela napas, "Iya ma, kan aku juga jawabnya pelan-pelan. Kantornya nyaman ma, bersih, AC-nya dingin, dari ruanganku jendelanya menghadap gdung-gedung, ibu kota banget."

Soal jawaban nyaman, aku agak ragu, sebetulnya aku bukan tidak nyaman selama sepekan ini, hanya saja banyak hal misterius yang membuatku bertanya-tanya. Tapi masih dalam batas rasa nyaman. Membayangkan bahwa aku sekarang sebagai pendatang ibu kota dengan potensi berkarir di kemudian hari. Aku jadi cengengesan senang.

"Terus kamu hari ini rencana mau apa?"

"Aku mau ketemu Nindya ma, udah janjian di buat ketemu hari ini."

Nindya adalah sahabatku sejak SMA, aku sudah lima tahun belum ketemu karena dia kuliah di Jakarta dan sekarang sudah kerja di Jakarta juga.

"Ketemu Manda? Siapa itu mama ngga kenal."

"Nindya ma, ya ampun.. Nindya, " aku mengulang, suaraku sedikit lebih lantang supaya tidak menggaung.

"Ohhhh Nindya, yang dulu sering main ke rumah buat belajar bareng ya? Mama nitip salam ya."

"Iya ma."

"Kamu di sana baik-baik ya, inget kamu lagi merantau! Jaga diri, jaga kesehatan, jangan telat makan."

Aku menggeleng kepala sambil nyengir, "Mama aku bukan anak SD lagi."

"Kamu pasti ketawa kan, tetap aja kamu anak mama satu-satunya, tuh papa jadi ikutan ketawa, sebal mama lagi mau telponan sama kamu malah mandiin perkutut."

Kudengar suara papa ketawa dan burung perkutut bersiul.

"Dasar ya si papah, papa ngga mau gantian nelpon sama Mei?" aku meledek.

"Papa mah nelponnya nanti aja katanya, sampai kangennya membukit. Aya-aya wae."

Aku tertawa terbahak, lalu menaruh kamera di meja.

"Ya sudah, selamat libur ya, Mei sayang. Jangan pulang larut, kamu belum kenal Jakarta lama seperti Nindya."

"Iya mama sayaang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TAMU TAK DIUNDANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang