Aku ingin sekali membicarakan hal itu dengan Mas Damar. Tentunya sangat ingin membicarakan banyak hal, terutama dengan wangi melati, topeng wayang, dan bahkan arti tatapan Pak Herman tadi. Sebagai seorang wanita, aku merasa agak terganggu. Gerik Mas Damar sewaktu di ruangan itu juga aneh, aku penasaran. seandainya Mas Damar mau bercerita, mungkin aku akan lega.
Mas Damar hanya hening, raut wajahnya menunjukan padaku untuk tidak menanyakan hal itu lebih jauh. Lagipula aku sungkan untuk menanyakannya. Aku belum dekat terlalu lama, dia juga lebih banyak diam. Hanya berbicara seadanya, beul-betul pria tanpa selera humor. Mungkin dia juga merasa kaku denganku, atau dia terbiasa sendiri di ruangan ini sebelum kehadiranku. Semoga saja seperti itu, kalau saja memang karakter cuk dan diamnya itu sudah merupakan dirinya, aku akan kesulitan nantinya.
Aku sudah duduk selama hampir tiga jam, setelah sampai di ruangan tadi, Mas Damar langsung memberiku sebuah file dokumen yang harus aku urutkan data-datanya. Pekerjaan yang mudah sebenarnya, karena hampir mirip dengan tugas-tugas kuliahku dulu. Tidak perlu membuat laporan yang panjang dengan referensi peneliti-peneliti luar negeri. Hanya merapikan data tulis tangan dari klien lapangan untuk aku input ke dalam laptop.
Pekerjaan itu memakan waktu karena datanya sangat banyak, padahal data yang sudah kukerjakan belum separuh, tapi sekarang sudah dekat dengan jam makan siang. Selama tiga jam tadi, Aku dan Mas Damar menghabiskan waktu dengan banyak diam, tidak membicarakan hal apapun. Mas Damar selalu tenggal dalam kesibukannya di balik layar netbook
Aku paham, memang dalam bekerja kita diharuskan untuk selalu fokus. Tapi aku lebih merasa Mas Damar itu dingin kepadaku, bukan karena dia ingin berkonsentrasi. Awalnya aku mengharapkan bisa akrab cepat dengan partner kerjaku. Membicarakan karir di perusahaan, pengalaman kerjanya selama di sini, atau sekedar merumpi tentang lokasi liburan. Tapi dengan kondisi Mas Damar, sepertinya aku harus pesimis untuk itu.
Aku melirik ke arah jam fossil di lengan kiriku, hadiah dari pamanku, dia bekerja di kapal pesiar. Hanya itu satu-satunya asesoris luar negeri yang melekat di tubuhku. Aku bukanlah wanita papan atas, ingat itu.
Waktu sudah menunjukan pukul 12.05, di luar aku dapat mendengar suara Mas Randyd dan Pak herman yang berbicara tidak jelas, tidak lama suara Mas Johan yang memanggil Mbak Angel. Terdengar samar tapi cukup jelas. Mereka sepertinya sudah keluar ruangan untuk makan siang. Aku melirik Mas Damar, dia masih sibuk mengetik dengan bunyi ketukan yang cepat. Seperti suara rintik hutan mulai deras.
Aku ingin makan siang, selain lapar, aku mau melihat situasi kantin kantor. Siapa tau aku dapat berteman dengan siapapun di sana. Kau harus tau, bertemanlah sebanyaknya dengan orang kantor untuk membangun relasi yang baik. Namun Aku merasa tidak enak hati saat Mas Damar masih sibuk, aku harus meninggalkan makan siang. Aku mengintip lagi Mas Damar dari balik layar laptopku, Mas Damar menyadarinya dan aku langsung membalikkan wajahku dengan cepat. Pipiku mulai terasa hangat.
"Kalau mau makan siang, silakan," katanya tiba-tiba.
"Mas Damar masih sibuk ya, ngga makan siang? Ada yang bisa saya bantu lagi mas?"
"Ngga perlu, saya bukan lagi mengerjakan tugas kantor."
Dia sedang mengetik apa? Kenapa sibuk sekali ya. Ah, sudahlah.
"Kalau begitu saya izin makan siang duluan ya Mas," kataku jengkel.
Dia hanya membalasnya dengan mengangguk, aku semakin kesal segera bangkit keluar ruangan. Tadinya kalau dia mau menitipkan sesuatu aku bersedia membawakannya. Tapi karena reaksinya seperti itu, masa bodoh saja.
Sewaktu aku hendak melewati ruangan Pak Herman, pintu ruangannya terbuka sedikit. Aku dapat merasakan hawa dingin keluar dari sela-sela kosongnya. Hawa dingin itu aneh, menusuk dan menekan, bukan dari hawa dingin sebuah mesin pendingin ruangan. Bulu kudukku mendadak berdiri.
Aku tadinya berinisiatif untuk menutup pintu itu, karena aku takut ada orang iseng yang mengambil barang berharga. Kita tidak tau kan hal buruk apapun? Siapapun bisa berbuat hal buruk. tapi saat bulu kudukku berdiri sampai ke leher, aku mengurungkan niatku. Lalu segera pergi dari ruangan divisi.
Entah perasaanku atau bukan, saat aku melewatinya, aku mendengar debum pintu ruangan Pak Herman tertutup. Siapa itu? Bukankan mereka semua telah keluar ruangan kecuali Mas Damar.
Aku berjalan cepat,membuang pikiran aneh itu dan membiarkan benakku berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAMU TAK DIUNDANG
Mystery / ThrillerIni adalah cerita Meisa sebagai karyawan baru di perusahan konsultan di Jakarta. Tidak pernah sedikit pun terpikir oleh meisa, bahwa perkerjaan pertama seumur hidupnya akan membawa dia pada malapekata mengerikan. Rekan kerja yang freak, misterius da...