BAB 23. Diam.

2.6K 520 356
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada banyak hal yang tidak Sena mengerti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada banyak hal yang tidak Sena mengerti. Begitu banyak kepingan puzzle yang Ares sembunyikan, begitu pula dengan Devan dan Leana.

Pagi ini—tepat setelah Aksa berangkat bekerja, Sena melihat dan mendengarkan pertengkaran Devan dengan Leana. Ia mengintip dari balik pintu kamar Ares, melihat diam-diam Devan yang terhuyung ke belakang usai pipinya ditampar Leana. Tidak ada teriakan dengan kalimat-kalimat kasar. Mereka bertengkar secara fisik dan hanya berbisik, sampai Sena sendiri tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ada apa, Kak?"

Sena menoleh ke belakang, menatap Ares yang beranjak duduk di ranjang dengan mata bengkaknya.

"Jangan ke luar. Diam di kamar dulu, ya."

Sena melangkah ke luar kamar Ares kemudian menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Kedua netra Sena menangkap jelas Leana yang Devan tarik kedua lengannya dengan kasar. Sena terkesiap, lantas mempercepat langkahnya untuk melerai pertengkaran mereka.

"Devan, jang---"

Jangan kasar pada Ibu, Sena melanjutkan kalimatnya dalam hati kala keadaan justru berbanding terbalik. Bukan Devan yang menyakiti Leana, tapi sebaliknya. Leana mendorong Devan dan menyebabkan punggung Devan menghantam keras dinding ruang tengah, mencipta suara 'duk' yang cukup keras. Leana bebisik pelan dengan menekan setiap kata yang terucap dari bibirnya. "Kamu jangan kurang ajar, Devan. Jangan merusak semuanya."

"Ibu."

Sena menahan tangan Leana yang sudah terangkat untuk kembali menampar Devan. Kendati terlahir dengan jantung yang bermasalah, sering sakit-sakitan dan sering pingsan, Sena tetap seorang laki-laki. Tenaganya jauh lebih besar dibanding perempuan. Tangan Sena mencengkeram kuat tangan Leana kala wanita itu memaksa untuk tetap menampar Devan yang kini bersandar di dinding dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ibu!"

Barulah Leana melemaskan tangan dan menghela napas kasar ketika Sena meninggikan intonasi dan volume suaranya. Setelah itu, Sena turut melepas cengkeraman tangannya dan menurunkan tangan.

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang