BAB 29. Percaya

2.5K 522 224
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejatinya, antariksa adalah ruang hampa yang menyakitkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejatinya, antariksa adalah ruang hampa yang menyakitkan. Tanpa oksigen, tanpa udara, dan tanpa cahaya namun panas daei matahari dan ribuan bintang masih terasa menyengat---seperti berada di dalam oven.

Devan sudah terlanjur masuk pada semesta Aksa yang hitam hampa. Lantas, ia mengibaratkan dirinya sendiri sebagai serpihan asteroid dan sewaktu-waktu bisa hancur kapan saja karena menabrak bulan di tengah-tengah ribuan bintang panas yang memenuhi galaksi. Atau mungkin bisa saja diibaratkan menjadi seorang astronout yang berkelana di belantara ruang hampa sendirian tanpa teman dan tidak bisa kembali ke bumi karena pesawatnya kehabisan bahan bakar serta kekuatan untuk mengudara.

Ini hanya soal waktu, di mana oksigennya akan habis dan membuat Devan menggeliat, meraup udara dengan rakus sampai akhirnya tubuhnya pasrah kemudian mati perlahan. Ini hanya soal waktu, di mana Devan akan kehilangan seluruh kekuatannya untuk berpijak dan berakhir pasrah mengikuti hukum alam semesta yang menyakitkan. Semua akan hancur lebur pada waktunya.

Lutut Devan membentur lantai marmer, ia duduk berlutut di hadapan Aksa. Kedua tangannya yang terkepal ia letakkan di atas paha. Kepala Devan tertunduk, air matanya mengalir deras. Ia tidak punya pilihan lain. Leana sudah mengambil alih ATM miliknya sekitar satu tahun lalu karena Devan masih belum cukup umur untuk diserahi kartu debit, katanya. Sedangkan Devan tidak punya teman di luar sana, selain Ares.

"Maaf."

Napas Ares tercekat, ia tatap punggung Devan yang bergetar menahan tangis. Mulutnya sedikit terbuka. Ingin berbicara, namun semua kalimat yang melayang di kepalanya seolah tersangkut di tenggorokan begitu saja.

"Maaf. Aku---minta maaf, Ayah."

Aksa menghela napas, ia pejamkan mata sejenak kemudian berjongkok di depan Devan dan menepuk-nepuk bahunya. "Iya. Ayah percaya kamu, Van. Jangan seperti itu lagi, ya?"

Aksa lantas berdiri ketika Devan mengangguk pelan. Ia menatap Ares dan Leana secara bergantian.

"Lea," panggil Aksa dan Leana seketika mengangkat kepalanya. Aksa menunjuk Devan yang masih duduk bersimpuh dengan dagunya. "Aku di luar sebentar, cari angin."

Detak. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang