Sena bersumpah, ia telah menahan Aksa sedemikian rupa agar tidak melimpahkan semua kesalahan pada Devan. Akan tetapi, Aksa seolah telah gelap mata. Seperti seorang yang kesetanan setelah mengetahui bahwa ada orang lain yang sengaja menyakiti Ares.
"Senarai, berhenti menahan Ayah. Ay---"
Sena menyela. "Ayah selalu seperti itu! Memangnya masalah akan selesai kalau diselesaikan dengan emosi? Apa Ayah---"
Kalimat Sena terputus, napasnya terengah. "Ayah sudah benar-benar yakin kalau luka itu dari Devan?"
"Ayah tetap akan mengusir Devan meski Devan mengaku tidak melukai Ares."
"Ayah!"
"Apa, Sena?! Jangan mulai kurang ajar membentak Ayah!"
Tangan Sena meremas sprei ranjangnya. Sena membasahi bibirnya yang kering dengan lidah. Napas Sena memburu. Matanya panas, Sena berkedip cepat menahan air mata. Ia tidak pernah melupakan kejadian di mana Devan menangis dalam pelukannya setelah memperlihatkan isyarat tangan meminta tolong. Sena tidak pernah lupa siapa yang Devan sebut saat itu. Meski Ares mau pun Devan tidak bercerita secara gamblang, Sena bisa menangkap maksud mereka dan menarik kesimpulan.
"Tapi ... Ayah ... Devan tidak---"
Kalimat Sena lagi-lagi terputus. Ia menyandarkan kepalanya pada ranjang yang setengah dinaikkan.
"Tidak apa? Lihat? Sudah susah bicara lagi, 'kan?" Aksa berdecak. "Ck. Kamu sama keras kepalanya seperti mendiang Ibumu. Kalau Ayah minta kamu diam, ya, diam. Kamu mengerti bahasa manusia tidak, sih, Sena? Kalau kamu drop lagi yang repot siapa? Ayah, bukan kamu."
Setelah itu, Sena tidak menjawab satu pun kalimat Aksa. Sena hanya mendengarkan Aksa menghela napas dengan kasar kemudian melihat punggung sang ayah menghilang dibalik pintu kamar rawat VIP yang tengah ia tempati.
Sambil berusaha mengatur napas agar tenang, Sena memutar otak mencari solusi. Bukannya semakin tenang, Sena malah semakin panik. Dada Sena sakit, luka jahitannya terasa perih ketika dadanya kembang-kempis dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak. ✔
Ficção AdolescenteLaksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu waktu, dan tanpa jeda. Hingga aku lupa, suatu saat nanti, jantung akan berhenti berdetak, baterai jam dinding akan habis dan kamu pun akan sir...