Part 08

34.9K 3.3K 289
                                    

"Shalat istikharah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Shalat istikharah. Allah akan mantapkan hatimu kalau memang jalannya jodoh. Jangan minder dan merasa nggak pantas, ayahmu seorang advokat yang punya nama kalau kamu lupa. Kedudukannya memang bisa dikatakan jauh, tapi kamu jangan terlalu merendah, Nak."

Di hari raya yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan ini, perasaanku justru dibantai kekalutan. Suara takbiran, banyaknya kue, ataupun ampau raya dari Om Hilman seakan tak berarti apa-apa. Aku bahkan sempat menangis saat di dalam kamar mandi sebelum berangkat shalat idul Fitri, semuanya masih terasa mimpi. Kotak merah berisi cincin itu, mata dan ucapan seriusnya, dan semuanya mencampur adukkan perasaanku.

Deguban jantungku masih tersisa, tatapan syok-ku pun masih belum sepenuhnya hilang. Seorang pebisnis ternama dari keluarga terpandang benar-benar melamarku? Kami hanya bertemu beberapa kali saja, tidak banyak momen pendekatan, dan bisa dibilang hubungan kami terlewat canggung. Lalu ketika aku sudah mulai tidak peduli dengan kabarnya sekalipun, dia justru datang mengutarakan keseriusannya.

Aku tidak langsung menjawab untuk memberikan keputusan, aku memintanya untuk memberikan waktu.

Masih teringat jelas bagaimana Zahra dan Anisa berteriak histeris, loncat-loncat kegirangan mendukungku setengah mati agar aku menerima lamarannya. Bahkan Om Hilman tiada henti memberikan energi positif untuk menenangkanku, dan berkali-kali menceritakan karakter lelaki itu karena penuh pengharapan lamarannya bisa aku terima.

Umi, Bang Rafa, dan Kak Amanda, juga saling memberikanku saran, memintaku shalat istikharah serta menyerahkan semuanya pada Allah.

Sampai sekarang, sampai detik ini, aku masih tidak percaya rasanya. Aku masih mengira hal kemarin hanyalah sebuah lelucon atau mungkin saja prank.

Satu hal yang harus aku sadari, ketika dia serius memilihku menjadi istrinya, mungkin kabar pertunangannya tidak benar. Atau mungkin sesuatu buruk terjadi mengenai hubungannya.

Dan apapun itu, aku tidak perlu menjadikan ini masalah. Aku hanya perlu fokus pada keputusan yang harus segera kuberikan.

Hari demi hari terus terlewati, sampai tak terasa sudah seminggu lamanya. Keputusanku akan keluar hari ini. Apapun yang menjadi pilihanku, semoga menjadi kebaikan untuk kami bersama.

Keputusannya adalah, aku menerimanya. Menerimanya menjalani dunia pernikahan dengannya.

"Aku Hana, kakaknya Amir. Selamat bergabung bersama keluarga Elfathan."

Di acara lamaran yang dihadiri dua pihak keluarga, satu perempuan ramah bernama Hana seringkali mengajakku bicara di tengah kecanggungan yang melanda, seperti ingin mengenalku lebih dekat. Orangnya yang sangat hangat membuatku merasa nyaman dan mampu melenyapkan rasa cemas, begitu juga saat dia berbicara pada Umi.

Jika berbicara mengenai takdir, sering kali aku dibuat terheran-heran. Tak pernah kusangka di hari memalukan kala itu, pertemuan dengannya ternyata bisa membawaku ke dalam lembaran baru. Lembaran baru yang tak pernah sekalipun terbesit dalam pikiran.

Mutiara Dalam CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang