Part 30

28.2K 2.8K 1.1K
                                    

"Iya, Om

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya, Om. Kayla mengerti."

Om Hilman berulang kali menghubungiku sejak kepulanganku dari rumah sakit, menanyakan keadaanku tanpa henti sampai memaksa video call untuk memastikannya. Bahkan terus memberikan semangat serta berjanji akan segera pulang menemuiku di tengah sibuknya bertugas. Bukan hanya Om Hilman saja, semua sahabat-sahabatku pun sama. Mereka mengirimkan pesan berulangkali, berusaha menghiburku dan memberikan ketenangan melalui kalimatnya.

Bertepatan dengan terputusnya sambungan telepon, aku melihat Mas Amir datang dengan jas formalnya sembari melempar senyuman.

Aku membalas senyumannya pula sebelum menyalaminya dengan posisi masih duduk di sofa kamar.

"Siapa yang telpon?" Dia melangkah menghampiri.

"Om Hilman. Dia terus nelpon nanyain keadaanku. Katanya Om Hilman mau pulang juga tapi benar-benar aku cegah. Kurang satu bulan lagi tugasnya selesai, jadi aku nggak mau karena dia izin pulang bulan ini, waktu pulangnya nanti justru diperpanjang."

Dia mengangguk mengerti, mengusap puncak kepalaku, "Dia mencemaskan keponakannya ini. Orang saat khawatir memang susah untuk mikir panjang atau mengontrol apapun." Jeda beberapa detik, "Kamu sudah makan? Obatnya juga diminum?"

Buru-buru aku menjawab saat matanya melirik kearah piring di atas nakas yang makanannya masih tersisa lumayan banyak, "Nggak habis ... aku nggak bisa nafsu kayak biasanya, Mas."

"It's okay, sayang. Kamu belum sepenuhnya pulih, itu wajar. Yang penting makan." Dia mengelus rambutku yang terkuncir satu sebelum akhirnya melangkah hendak melepas jas dan atribut formalnya.

Namun, aku mengikutinya dari belakang untuk mengatakan sesuatu, "Mas?"

"Iya?" Tangannya bergerak membuka dasinya seraya menghadapku, "Kenapa?"

"Kapan kita berangkat ke Amerika? Kalau secepatnya boleh?"

"Tentu boleh, yang penting kondisimu benar-benar pulih."

"Aku udah pulih, Mas! Beneran aku udah merasa jauh lebih baik hari ini. Lihat mukaku, lebih segar, nggak pucat kayak kemarin-kemarin 'kan? Makanku meskipun nggak habis tapi udah lumayan banget dibanding kemarin."

"Kata dokter belum," ungkapnya membuatku tidak bisa membantah, "Demamnya belum turun sepenuhnya."

Aku menghela napas hingga membalikkan badan kembali ke sofa. Pengobatan itu benar-benar ingin aku jalani secepatnya, aku tidak sabar mengetahui hasilnya, aku rela menahan sesakit apapun terapinya nanti demi hasil yang menggembirakan.

Mutiara Dalam CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang