Danira Ishihara (10)

72 19 4
                                    

"Sambutlah penari utama kami, Danira Ishihara!" Si pria berkilau itu menggenggam tangan Danira, mengangkatnya cukup tinggi, seakan unjuk diri di hadapan para wartawan, yang lekas membidik momen mencengangkan ini. "Saya umumkan secara sah, Sevensky Ballet Company punya wajah baru, primadona balet dari Indonesia, salah satu penari lyrical terbaik di belantika balet Asia, sang Danira Ishihara."

Pria itu menyilaukan disiram cahaya senja. Busana putih-putih sebersih malaikat, pantulan kilap keperakan nampak manakala tangannya beranjak. Kelinci putih yang pernah dihadiahkan si lelaki bahkan tidak lebih putih dari busananya saat ini. Danira mengetahui nama lelaki itu, tetapi tidak mengenalinya, setidaknya bukan sebagai pria yang sama. Sven. Dialah Sven Montimeru. Namun yang disaksikannya kini adalah Sven, pria The Sevensky yang sombong dan berhati batu.

Berani benar kamu! Apa-apaan membuat pengakuan sepihak dan menodong pihak yang tak siap! Mata Danira terbeliak, tetapi bibirnya melipat. Manalah sanggup ia berteriak, atas dasar pengharapan, ini cuma mimpi belaka. Reaksinya janggal, menyapa si pria dengan lagak lagu Danira yang manja, "Kak Tujuh. Kakak Seven. Maksud ini semua apa ya?" Danira Ishihara, terkodrat bak balerina remaja canggung, di hadapan instrukturnya yang tekadnya hebat dan ambisius.

Delapan tahun silam, Danira yang berusia empat belas tahun tertimpa kondisi mengkhawatirkan. Semangatnya terempas, tak lagi ingin menari karena suatu penyakit, kebosanan balet tingkat akut. Kehadiran Sven yang dikiranya akan membantu, justru menjebaknya pada pilihan buntu. Sven sama sekali tidak memberinya napas, dalam arti memaksanya terus menari. Ia takkan diperkenankan undur diri. Hidupmu dan tarianmu baru saja dimulai, Dan. Mana boleh kau menyerah demikian mudah. Bodoh benar kamu. Wejangan Sven tak ubahnya cambuk yang menyakiti hatinya.

Detik ini juga, di masa kini, Sven menatapnya lekat. Tatapan kosong yang tak tajam, justru terasa menyayat. Danira yakin, pria ini adalah Sven yang berbeda. Dia bukan lagi Kak Tujuh-nya yang dulu. Sven tidak suka tampil di depan publik, juga alergi berhadapan dengan kilat kamera para jurnalis. Apakah para wartawan ini diundang oleh Sven? Mengapa Danira merasa direkrut secara paksa? Jadi undangan ini dimanfaatkan untuk menjebak dirinya? Masakan Sven pula sang terdakwa utama? Danira berpraduga, ia benar-benar terempas melalui jendela sebatang kara, dalam mimpi tanpa kesudahan yang sarat derita.

"Kita bicarakan lagi perihal kontrak kerja sama nanti, setelah pertunjukan gala berakhir. Silakan menikmati mahakarya terbaru Sven The Sevensky, An Orphaned Window." Respons si lelaki sungguh tak mengenakkan, meyakinkan Danira mimpi buruknya bakal tak berujung.

Sven yang dulu takkan mengacuhkan sapaan manjanya. Setiap kali ia menyebut "Kak Tujuh" atau "Kak Seven", si pria selalu menjawab dengan mesra. "Ya, Dan." Singkat tetapi manis, kata-kata termerdu yang disukai Danira, membuatnya merasa aman dan dikasihi, meski mungkin sebatas sahabat sehati. Apa yang dirasakan Sven dirasakan pula olehnya. Maka Danira membuat klaim yang sepihak. Sven tentulah belahan jiwanya. Soulmate bila diistilahkan dalam bahasa Inggris.

Pada kenyataannya, soulmate sesungguhnya ditulis sebagai dua kata terpisah, soul dan mate. Soul mate. Kabarnya ini bentuk penulisan yang baku. Danira tidak menyukai bentuk baku dari soulmate, dan ia bersikeras mengejanya sebagai soulmate, sebagai satu kesatuan kata yang tak terpisahkan. Sepasang soulmate bukan sahabat biasa, maka mereka tidak dapat dianggap dua, melainkan satu jiwa dalam dua tubuh yang berbeda. Dua tetapi menjadi satu yang utuh.

Terhitung sejak hari ini, ia dan Sven menjadi dua individu yang berbeda. Jarak mereka dekat secara fisik, tetapi merenggang oleh jarak tak terukur. Soul mate, terpisahkan spasi, tak lagi dekat oleh saling pengertian yang kentara. Sven yang melatihnya di Indonesia selalu memahami, tanggap mengartikan kesedihan dan kegembiraannya. Si lelaki yang dulu senantiasa tahu, kapan Danira ingin sendiri, dan kapan ia ingin diwawancarai. Tanpa kata-kata lugas, rasa pengertian itu takkan gagal.

Kamu di Rumah Kaca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang