Danira Ishihara (18)

66 20 6
                                    

Bunga mawar putih kelopaknya segar. Mimpi Danira berulang, telah menjadi kebiasaan yang wajar. Danira tak lagi semringah, apalagi berbunga-bunga oleh mimpi rupawan yang dialaminya malam demi malam. Kian lama kuntum mawar putih kian merebak, bertebaran ke seluruh mata angin, tidak bermekaran, malah kelopaknya berjatuhan sehelai demi sehelai.

Sekonyong-konyong mimpinya terkabul, walau mawar putih dalam mimpinya sudah berguguran. Tujuh kuntum mawar putih tergeletak di luar jendela kamar Danira, setelah malam sebelumnya ia berangan tentang Valeria Lavendri. Sang titisan Dewi Aphrodite berambut merah. Itulah kodrat Valeria dalam mimpi suram Danira. Ajaib, bayang-bayang Valeria membekaskan kuntum-kuntum mawar berkelopak molek keabu-abuan. Nah, lalu siapa yang menggeletakkan mawar-mawar putih ini?

Betul-betul mawar yang bersih dan cantik. Tiga kuntum di antaranya serupa mawar liar di luar rumah kaca, bersemu merah dadu pada pangkal kelopaknya. Empat kuntum lagi putih seluruhnya, bagai terpahat dari gumpalan salju, atau tercuri dari taman kembang terelok yang pernah ada. Enchanted Flower. Kembang yang disihir oleh embun malam, semurni alabaster, pualam terputih dari lembah Carrara yang terasing. Danira menghidu kelopak yang rekah, maka ia mendapati harum cinta nan menenangkan.

Akankah mimpi ini berbuah nyata? Sven? Itukah kamu? Diakah pelakunya? Benarkah Sven akhirnya paham, sepenuhnya menghargai isi hatinya? Bunga yang diinginkannya ada dalam genggamannya. Akhirnya. Kuntum mawar-mawar putih ini, terlihat amat nyata. Lalu, paket pertama itu, mungkinkah bukan Sven pelakunya? Sekuntum mawar hitam yang cantik tetapi lisut, laksana kemolekan masa muda yang memudar dan takkan kembali.

Inikah jalan untuk menjemput takdir? Takdir cinta seorang Danira akankah berakhir pada Sven, pria dengan misteri tingkat langit ketujuh? Namun, mengapa Danira merasa terenyuh, seakan Sven masih amat jauh? Sven, kapankah aku sanggup menjangkau hatimu? Bilakah aku mampu melihatmu, dari balik jendelaku yang jernih dan tak berpenghalang? Bilamana cintamu akan sampai kepadaku? Tidak lagi kurasakan bagai mimpi muluk yang tak berwujud?

Ah, mimpi. A Kim, pengganti Tante Fe dalam kekosongan hati Danira, juga kerap membahas soal mimpi. Persis seperti Tante Fe, A Kim juga gemar mengupas makna mimpi yang dialaminya. Setiap pagi, A Kim bertanya tentang mimpi, menggantikan salam pembuka "selamat pagi" yang ramah tamah.

"Eh, Xiao Mei. Semalam kau bermimpi indah?" Tebakan Danira tidak salah. Memang seperti itu sapaan A Kim untuk memulai suatu hari yang cerah.

Xiao Mei artinya adik kecil. Seperti seorang tante-tante menyapa gadis cilik. Dek atau adek ataupun adik. Seperti itulah yang dimaksudkan A Kim. Tante Fe yang tersayang memanggilnya "sampeyan". Meskipun aneh, Danira cukup menyukainya. Tante Fe yang njawani, bahkan setelah bermukim di Bandung belasan tahun lamanya. Sang tante nyentrik yang berhati muda, lebih menganggap Danira sebagai adik daripada keponakan perempuan.

"Biasa saja, A Yi. Tidur A Yi nyenyak semalam?" Danira bertutur dalam bahasa Tionghoa yang lancar. Kecemasan bahwa A Kim lebih biasa bercakap dalam bahasa Hokkien tidak beralasan. A Kim malah fasih berbahasa Inggris dan cukup kebarat-baratan.

"Ma ma hu hu la. So so. Tidurnya A Kim tidak jelek, tapi juga tak nyenyak." Mendadak A Kim seperti terlonjak, dikagetkan pikiran tak mengenakkan. "Maaf, A Kim sebetulnya lupa mimpi apa semalam. Tidak ingat pula apakah tidurnya A Kim lelap atau tidak." Wanita tengah baya itu memijit-mijit pelipis kirinya, seakan mendapat serangan migrain yang berat.

"Tidak mengapa A Yi. Coba A Yi ingat sebisanya dan tuliskan mimpi A Yi di sini. Ini namanya Diari Pemimpi." Danira menyerahkan sebentuk buku jurnal mungil berwarna merah, motifnya polkadot dan baru dibeli semalam dari pasar malam Taichung yang meriah.

Kamu di Rumah Kaca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang