5.sikap manis

110 16 0
                                    

"Terkadang terlalu bahagia itu bisa membuat kita sakit perut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Terkadang terlalu bahagia itu bisa membuat kita sakit perut."

Lian tak menyentuh baksonya sedikitpun, bahkan ia tak berniat untuk memakan bakso itu. Sedangkan Jia sudah hampir habis, jelas saja karena ia lapar.

"Mending lo makan sekarang atau gue yang makan," ucap Jia mencoba membujuk Lian untuk memakan bakso itu.

Lian melirik bakso yang masih terlihat panas itu, ia sebenarnya tak ingin. Tetapi karena ia batal ngedate bersama Zea jadi ia harus memakan bakso itu, ia lapar.
Namun, sepertinya gengsinya kambuh lagi. Jia mendengus dan menarik bakso itu.

"Makan," ujar Jia sembari menyendok baksonya ke arah Lian.

Dengan cepat Lian memakan bakso itu, gengsi yang tadi bersarang dihatinya langsung menguap saat gadis itu menyodorkan baksonya dan menyuapinya dengan pelan.

'manis juga' batin Lian.

"Ngapain lo natap gue, gue tahu lo lapar. Lain kali nggak usah pake acara gengsi segala."

Di ujung jalan, seorang gadis tengah menatap mereka berdua. Ia mengepalkan tangannya saat melihat gadis itu menyuapi orang yang telah merebut hatinya. Tak tahan melihat kejadian itu, Zea langsung pergi. Tadinya ia menunggu Lian di depan gerbang rumahnya, tapi karena Lian tak kunjung datang ia berniat mencari taksi dan pergi lebih dulu ke tempat yang mereka rencanakan.

"Gue nggak akan ngebiarin lo dekat sama Jian, apalagi kalau sampai Jian suka sama Lo!" Zea melangkah pergi.

Tadinya Jia ingin pulang, tetapi Lian terus memaksa nya untuk ikut. Ia jelas saja tidak mau karena ia hanya memakai baju rumahan. Bisa-bisa ia membuat Lian malu nanti. Tapi Lian tetaplah keras kepala, dan berakhir dengan Jia yang ikut bersamanya.

"Kita mau kemana sih?"

"Lo hanya perlu duduk manis," jawab Lian yang membuat Jia semakin menyesali keputusannya untuk ikut lelaki ini.

Jia memutuskan untuk tidak bertanya lagi, untuk apa juga bertanya pada orang gila yang memaksanya untuk ikut.

"Lo mau buat gue malu ya!" bentak Jia saat Lian memberhentikan mobilnya di area taman yang sangat indah dan sudah didekorasi secantik mungkin.

"Turun." Bukannya menjawabnya Lian malah turun dari mobil tanpa membukakan pintu untuk Jia.

Jia tetap pada pendiriannya, sudah sepuluh menit mereka sampai di tempat itu tetapi Jia tidak juga turun. Karena merasa bosan ia memilih untuk tidur saja membiarkan lelaki itu sendirian.

Lian yang sudah kehabisan kesabaran menunggu Jia langsung menuju mobil dengan amarahnya. Bisa-bisanya gadis itu lebih memilih berada di dalam mobil sendiri daripada bersamanya. Biasannya banyak gadis yang mengantri untuk berduaan bersamanya, tetapi tindakan Jia benar-benar telah menyakiti jiwa playboy Lian.

"Eh Lo...," Lian langsung memelankan suaranya saat melihat gadis itu sudah terlelap.

Ditatapnya lamat-lamat wajah yang tak terpoles make up itu, tetapi tetap terlihat cantik. Lian sedikit membungkukkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke arah wajah gadis itu.

Ingin sekali Lian mencium wajah itu secara bertubi-tubi, tetapi mau ditaruh dimana wajahnya jika Jia bangun dan memergokinya sedang menciumnya. Lian tahu hal itu tak akan seindah adegan di novel dan film, yang ada Jia langsung mematahkan tulangnya.

'Gue nggak tahan' batin Lian dan langsung mencium bibir Jia sekilas dan langsung menegakkan tubuhnya sembari menutup pintu mobil secara perlahan.

Dengan jantung yang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, Lian dari tadi terus saja berusaha untuk fokus menyetir. Rasa gugup dan malu yang tak dapat ia bayangkan dan rasakan sebelumnya sekarang terasa sangat menguasai dirinya.

Jia terbangun saat mobil berhenti di depan gerbang rumah yang kata Jia adalah rumah majikannya itu. Lian tetap saja tidak melihat ke arah Jia, ia takut Jia melihat wajahnya yang mungkin tak bisa berkerja sama untuk menutupi malunya saat ini.

"Eh gue ketiduran, kita nggak jadi ke taman" ujar Jia saat melihat gerbang rumahnya.

"Turun," kata Lian berusaha sedingin mungkin.

"Gue emang mau turun, bisa-bisa gue dapat omel dari majikan gue karena kelayapan sampai jam segini." Jia membuka pintu mobil itu dan turun tanpa memperdulikan Lian yang tak menatapnya itu.

"Tuh orang kenapa sih, aneh banget?" bingung Jia saat melihat mobil Lian yang sudah melaju meninggalkan tempat itu.

Jia tak mau memikirkan sikap Lian yang terkadang memang suka berubah-ubah seperti bunglon itu. Jia langsung masuk ke rumahnya sebelum ia merasakan tubuhnya basah seketika.

'Byur'

Jia yang kaget langsung menatap gadis yang telah menyiramnya itu. Kenapa Zea menyiramnya, perasaan hari ini Jia sama sekali tidak membuat Zea kesal bahkan mereka belum berbicara sejak tadi pagi.

"Bagus ya Lo, udah berani sekarang ngambil apa yang gue punya!" teriak Zea dengan nada marah.

"Maksud Lo apa hah!" Jia tak kalah geramnya pada gadis itu.

"Gara-gara lo! gue batal makan bareng Lian!"

Jia yang mendengar itu langsung melototkan matanya, kenapa pikiran gadis dihadapannya ini sangat sempit. Dengan cepat ia mengambil ember yang dilepar Zea tadi dan berjalan menuju akuarium dan mengambil air di sana.

'Byur'

"Ahhhhhh JIAAAA!" teriak Zea saat Jia menyiramnya menggunakan air ikan itu.

"Rasain Lo, lagian Lo nyiram gue tanpa alasan. Gue bilangin ya sama Lo, gue sama Lian itu pacaran dan Lo juga udah tahu itu jadi ya wajar aja kita makan bareng," ujar Jia membuat Zea semakin kesal.

Jia pergi menuju kamarnya, ia lebih memilih untuk pergi ke kamarnya dan tidur saja daripada melayani gadis gila itu. Senyum Jia terbit saat melihat pria paruh baya yang sedang berdiri di tangga, ia benar-benar merindukan ayahnya itu. Sudah lama sekali sejak ayahnya tugas ke luar kota dan baru pulang hari ini, ia benar-benar rindu.

"Ayah..." lirih Jia yang sudah meneteskan air matanya.

Dengan perlahan ia maju untuk memeluk ayahnya itu. Namun, ia menyadari sesuatu. Tatapan ayahnya bukanlah tatapan hangat seperti biasanya, kenapa ayahnya menatap dirinya penuh dengan tatapan kebencian.

"Ada apa, Ayah?" tanya Jia dan kemudian memelankan langkah kakinya.

"Sepertinya kamu memang sudah tidak menginginkan tinggal di rumah ini, kenapa seorang anak gadis berkeliaran di malam hari!" bentak ayahnya.

"Bukan gitu, Yah. Tadi Jia beli makan," Jia berusaha untuk memberikan penjelasan pada Ayahnya.

"Kamu memang selalu merepotkan kakak kamu, sudah tahu kakak kamu itu sedang sakit tapi kenapa kamu malah membuatnya menjadi pembantu di rumah ini! Zea sudah cerita segalanya!" Jia merasa dirinya kembali pada saat pertama ia merasakan dibentak oleh ayahnya.

Bisakah ia mendapatkan ayahnya yang dulu, ia sudah rindu pelukan hangatnya. Setelah mendengar hal itu, Jia memilih diam saja. Toh ia tahu walaupun ia menjelaskan ayahnya tidak akan percaya, jadi buat apa dia menjelaskan. Ia hanya perlu bersikap seolah ia tak peduli itu saja.

Hai guys, maaf ya kalau part ini membosankan. Jangan lupa juga tinggalkan vote dan komen kalian. Aku padamu reader 😍

Follow me on Instagram:
@re_lestari8

TULUS (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang