Tertawa, Amara melongok keluar jendela. Thalia turun dengan tiga tas belanja ditangannya. Isinya beberapa pakaian dan aksesoris yang mereka beli bersama di mall tadi siang. Amara tertawa geli melihat Thalia kesulitan mengangkat tiga tas belanjanya yang besar.
"Kau membutuhkan Harry untuk membawanya."
"Aku bisa sendiri. Kau memberiku bahan pangan untuk sebulan, itu sudah lebih dari cukup untuk membantuku."
Tatapan Amara berubah menjadi sendu. Thalia hidup sendiri. Orangtuanya meninggal sejak gadis itu berusia 10 tahun. Karena itu, Amara dekat dengan gadis itu. Thalia bukan tipe manusia bertopeng seperti keluarga Kreuz. "Baiklah nona Marshwan. Jaga dirimu, nyalakan penghangat ruangan karena malam ini akan dingin."
Thalia mengangguk, tersenyum lebar. "Tentu. Sampai ketemu disekolah besok."
Amara mengangguk, menutup kaca mobilnya.
"Bye."
Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah sederhana Thalia. Amara menegakkan punggung. Melirik kedepan dengan wajah muram. Seratus persen berbeda dengan terakhir kali bersama Thalia.
"Nona, anda baik-baik saja?" Harry bertanya sambil mengintipnya dari kaca mobil. Amara mendongak, tersenyum kecut. "Apa aku terlihat baik-baik saja?"
Harry bungkam.
Tidak ada yang baik-baik saja disini.
"Apakah Nona ingin makan malam diluar?"
"Tidak. Aku sudah kenyang, aku lelah." Amara menyandarkan tubuhya. Harry mengangguk, mengerti. Dirinya mengerti mengapa Nona-nya tetap pulang ke tempat yang tidak bisa disebut 'rumah'. Ada atau tidaknya Amara disana, Carlson tidak pernah menunjukan dirinya.
Amara bahkan masih bisa menghitung pertemuannya dengan pria itu. Pria yang merupakan Ayahnya.
Mobil berbelok memasuki halaman mansion Amesthy. Memarkirkan mobil jenis Porsche hitam mengkilap ditempat seharusnya. Amara membuka pintu, tidak memberi kesempatan pada penjaga gerbang yang melakukannya. Dia lelah.
Karena itu, saat pintu utama terbuka lebar. Amara melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya. Tanpa sedikitpun menoleh ke ruangan lain.
Karena dia tau, ruangan itu tetap kosong, sama seperti hatinya.
***
"Nona,"
Amara bungkam. Menatap langit dengan pandangan kosong. Malam ini, seperti biasa langit hitam yang menemaninya. Tidak ada bintang berkelip, hanya bulan yang terjaga dengan sinar redupnya.
Amara menopang dagu diatas pembatas balkon. Dirinya seperti bulan itu. Sendiri. Selalu sendiri. Meredup dan lama kelamaan kehilangan cahayanya. Tinggal menunggu waktu sampai kapan dirinya sudah berhenti untuk bangkit kembali.
"Nona?"
Suara pintu terbuka. Derap langkah seseorang memasuki kamarnya. Jane. Nampak cemas ketika dirinya tidak menjawab panggilan sang pelayan pribadi.
"Ya tuhan, saya pikir telah terjadi sesuatu kepada anda Nona."
Amara tidak bisa menahan senyum geli. "Haha, mansion ini dilindungi oleh puluhan ksatria dan ratusan prajurit. Hanya orang bodoh saja yang berniat menyelinap kesini, Jane."
Jane meringis pelan. Wanita itu menghampiri Amara dengan nampan berisi segelas coklat panas dan biskuit. Setelah menaruhnya diatas meja yang disediakan, Jane kembali mendekat, mengambil selimut tebal dan menyampirkannya ditubuh mungil Amara.
Amara terkekeh manis. "Kau yang terbaik, Jane"
"Tolong kembalilah ke kamar setelah ini. Angin malam tidak terlalu bagus untuk kesehatan Nona. Dan, tolong habiskan coklat panasnya. Itu bagus untuk menghilangkan banyak pikiran." Jane sudah mirip seorang ibu jika ocehannya tidak berhenti.
Ibu, ya?
Entah bagaimana rasanya memiliki seorang ibu. Apa menyenangkan? Ataukah sebaliknya? Yang pasti, tidak pernah memilikinya terasa lebih menyakitkan dan juga...
Menyedihkan.
"Hei, Jane." Amara memanggil nama wanita itu disaat wanita itu sudah mencapai pintu balkon. Jane berbalik, menatapnya bertanya. "Ya, Nona? Apa anda menginginkan sesuatu?"
'Aku ingin Ibuku!'
"Ah," Amara memaksakan tersenyum. "tidak jadi."
Jane mengernyit melihat perubahan raut wajah Amara. Sekilas tadi, wanita itu sadar jika Amara sedang tidak baik-baik saja. Sama seperti malam sebelumnya. Amara selalu tidak baik-baik saja. Jane ingin membantunya, memberikan segala yang dia miliki untuk melihat senyum gadis yang sudah ia rawat sejak bayi.
"Apa anda baik-baik saja? Akhir-akhir ini, wajah anda nampak pucat."
"Ah, benarkah?" Amara menyentuh pipinya sendiri. Dingin. "Aku baik-baik saja. Mungkin terlalu banyak belajar? Tenanglah, ini bukan hal yang besar."
Benar. Tidak perlu meributkannya.
Jane mengangguk pelan. Lagi-lagi Amara menyembunyikan sesuatu yang dialaminya. "Kalau begitu, saya akan menyiapkan obat diatas meja untuk anda. Pastikan anda meminumnya sebelum tidur." Amara mengangguk mengerti. Jane mengulas senyum lembut. "Dan Nona, jika anda membutuhkan sesuatu, anda bisa mengatakannya."
"Hm." Suaranya parau. "Aku akan mengingatnya."
Pintu tertutup. Jane sudah keluar dan meninggalkannya sendiri dibalkon kamar. Amara menghela nafas, menyandarkan punggungnya ditembok pembatas. Tangannya mencekram keningnya sesaat. "Ah, sial. Kenapa akhir-akhir ini kepalaku sangat sakit?"
Merapatkan selimut ketubuhnya, Amara menghembuskan nafas pelan. Melirik coklat panas yang dibuat Jane untuknya. Gadis itu berjalan dan duduk dikursi samping meja. Menenggak minuman coklat itu sampai habis dalam sekali tegukan.
Samar-samar, dirinya mendengar suara derum mobil. Amara memeriksa jam lewat ponselnya. Pukul 12 malam.
Ah, seperti biasa.
Amara bangun, menyeret selimut yang membungkusnya ke pembatas balkon, menunduk melihat kebawah. Seorang pria keluar dari sebuah mobil hitam. Tampak lelah dengan jas kerjanya.
Rasanya, kedua kakinya ingin berlari dan memeluk sang ayah erat. Tatapan Amara meredup. Hanya dimalam hari kesempatannya melihat sang Ayah. Walaupun tidak setiap hari, karena Carlson lebih sering lembur dan tidak pulang.
Sudah biasa.
Amara membalikkan badan. Masuk kedalam kamar sebelum hatinya semakin gelisah dengan keadaan.
Dua detik kemudian, Carlson yangmenyerahkan tas kerjanya pada pelayan istana, mendongak. Menatap kamar putrinya dengan tatapan yang hampa yang sulit diartikan.
~To Be Continued~

KAMU SEDANG MEMBACA
|KEKIRA|
Fiksi RemajaCarlson menautkan tangan diatas meja, secara tidak langsung mengatakan bahwa dia yang berkuasa disini. Bahkan jika Amara menolak, dirinya tidak bisa melakukan apapun. Amara meneguk ludah kecut saat tatapan Carlson menyorotnya rendah. Dunia seakan r...