Part 22

5 3 0
                                    

Jalan hidup kadang pelik, penuh liku, perlu banyak menelan ribuan pil pahit, hanya untuk menunggu satu hal, yaitu akhir yang bahagia.

Siang dan malam terus berganti dengan begitu cepatnya, sampai mereka tidak sadar kalau sekarang mereka sudah kelas dua belas. Walaupun Avan dan Arsya masi di Bali, di sekolah SMA Wangun Cipta Denpasar. Dan Itu tinggal 2 hari lagi, karena sebentar lagi mereka akan kembali ke Jakarta.

Avan yang terkenal pintar di sekolahnya berhasil mencentak banyak prestasi, sampai-sampai berhasil mengalahkan Agus, siswa yang paling pintar di sana. Dulunya sebelum ada Avan, Agus selalu mendapat juara satu umum dan kelas, tapi kini ia harus rela posisinya di heser oleh Avan.

Sedikitpun tidak ada rasa iri, ia malah santai-santai saja. Lagi pula itu hanya juara, untuk mengetahui seberapa pintar kita, dan setelah nanti lulus tidak akan ada gunanya lagi. Yang kaya teteplah kaya, sedangkan yang miskin harus berjuang dari nol, merintis karirnya hingga bisa mengejar si kaya.

Kalau di tanya soal hubungan Avan dan Arsya, mereka terlihat saling akrab, audah terbiasa untuk bersama. Mereka juga tidak ada rasa canggung lagi. Bahkan Avan yang biasanya malas basa-basi dengan cewek beda halnya saat bersama Arsya. Ia jadi lebih sering mengobrol dan mengeluarkan suara.

Dulunya mereka yang tidak kenal Kota Denpasar pun jadi sangat sering menjelajahinya, seperti sore ini, Avan dan Arya memutuskan untuk pergi ke Pantai Pandawa, mereka tidak terlalu tau bagaimana tempatnya, tapi karna taksi yang mereka tumpangi telah siap mengatarkannya sampai tujuan, mereka tenang-tenang saja.

Hari yang makin sore, maka makin indah pula suasana pantainya. Pantai yang di kelilingi tebing tinggi dengan lima patung pandawa itu tampak tenang di sore hari. Pasirnya yang putih bersih tampak memanjakan mata, ditambah lagi dengan airnya yang berwarna kebiruan, membawa suasana tenang dan teduh.

Arsya dan Avan duduk dibawah pohon, yang tertanam disana, mereka menikmati angin laut yang menyejukkan. Masing-Masing pandangan mereka tidak lepas dari gelombak ombak yang menyapu pasir, terlihat biasa tapi mereka suka memandanginya.

Hawa tenang itu membuat Arsya menutup matanya sebentar, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Arsya berusaha tenang dan rileks, sampai deheman halus ia dengar dari Avan.

"Ar ... kalo gue cerita sesuatu boleh nggak?"

"Kenapa nggak?" santai Arsya, ia tersenyum hangat memandang wajah Avan. Tapi tetap saja, wajahnya lebih ke imut dibanding cantik. Avan yang mau mulai bicara menarik napas dalam, lalu menghembuskannya.

"Soal gue yang benci cewek canti." mendadak Arsya langsung duduk tegak, ia memasang wajah serius untuk mendengar cerita Avan. "Itu bukan karna bully anak-anak sekolah waktu SD aja. Tapi .... "

"Tapi apa?" tanya Arsya sudah tidak sabaran, membuat remaja yang ada di samping Arya kembali menghela napas kasar.

"Karna ibu gue."

Arsya mengernyit dalam. "Mangsudnya karna Ibu Lo apa?"

"Keluarga gue itu nggak berasal dari keluarga kaya. Ayah cuma pegawai kantoran biasa, begitupun dengan ibu. Tapi karna hasil ibu yang suka selingkuh, uang untuk kehidupan sehari-hari jadi cukup. Walaupun ibu ngelakuin itu untuk kebaikkan kelurga, ayah tetep nggak setuju, ngeliat istrinya jalan atau bermesraan sama cowok lain. Ibu waktu itu juga jarang pulang, makannya gue cuma di rawat sama pembantu."  Avan menunduk, mengingat hal pahit hidupnya selama ini.

Arsya yang merasa penasaran hanya menunggu, membiarkan remaja itu menceritakannya secara berlahan.

"Tapi entah kenapa ayah juga sempet ngajarin gue, buat nggak boleh terpedaya sama cewek cantik lagi, jauhin mereka, karna lebih baik kita milih cewek jelek asal berakal dan pikirannya cuma untuk keluarga, tanpa melihat cara senang dengan hal yang bisa saja jadi alat untuk menghacurkan. Gue percaya dan makin benci sama cewek cantik setelah dapet bully."

Avan melepas kacamatanya, ia mengusap matanya yang sedikit berair, sedangkan Arsya masi di tempat dan mendengarkan dengan seksama.

"Mereka menghina fisik gue, yang membuat gue nggak PD sama diri sendiri selama bertahun-tahun, dan di pas gue butuh sosok orang tua, mereka semua malah sibuk." Avan tersenyum miris, sehebat itu dirinya sampai orang tuanya tidak pernah ada untuk Avan.

"Tapi lo sekarang harus berhenti benci sama cewek cantik, lo juga harus bisa bergaul sama cewek-cewek," suruh Arsya yang malah di balas dengan gelengan. "Kenapa?"

"Mereka selalu bikin rasa trauma gue kambuh," ucap Avan menatap lautan biru yang ada di depannya. Lagi pula luka apapun itu, baik tentang masa lalu atau apapun pasti akan berbekas.

"Tapi kalo lo bisa biasain diri, lo pasti bisa." Arsya berusaha memberi motivasi Avan, agar ia mau berusaha lebih keras lagi.

"Hem ... lo beda Arsya, lo selalu berjuang supaya terlihat, sampe gue ngerasa lo butuh bantuan gue. Walaupun di saat itu, mukak cewek cantik yang bully gue terus terngiang-ngiang, betapa bencinya gue sama mereka."  Avan menatap wajah Arsya,  "tapi lama kelamaaan gue bisa bedaim wajah lo sama mereka, lewat kebaikkan dan sikap lo."

Arsya mengulas senyum kecil, ia sedikit menunduk dan memainkan kedua tangannya. "Mungkin sama halnya kaya gue yang benci cermin. Padahal pengobatan apapun udah orang tuanya usahakan.

"Alasannya?"

"Karna gue di bully juga, tapi dulu wajah gue juga nggak kaya sekarang, bahkan jelek dan hancur. Setengah wajah gue luka bakar parah. Temen-temen gue akhirnya pada ngejauhin dan nge-bully gue." cerita Arsya, yang menjadi penyebab utamanya adalah bully. Penindasan siswa lemah oleh siswa-siswa yang merasa telah berkuasa.

Arsya tidak langsung melanjutkannya, ia memejamkan matanya sebentar hingga tenang. "Sepulang sekolah gue bercemin, dan entah dapet dorongan dari mana, gue benci liat wajah gue sendiri, gue marah. Gue pecahin cermin itu sampe gue luka-luka, bahkan seolah-seolah cermin itu pengaruhin gue buat bunuh diri."

Avan hampir tidak percaya dengan cerita Arsya, bahkan di umur sekecil itu Arsya sudah berpikir untuk bunuh diri. Tapi itulah hidup, kadang kerasnya melebihi batu, tapi jika memang takdirnya, bisa saja jalannya mulus dan halus.

"Tapi seharusnya lo sekarang lebih percaya diri. Lo cantik dan nggak seperti dulu."

"Tapi ini palsu." Arsya berucap miris pada dirinya sendiri, dan itu benar palsu. Orang tuanya telah melakulan operasi plastik yang Arsya tidak ketahui. Mungkin itu untuk kebaikkannya tapi tetap saja, Arsya kecewa.

"Lo harus lebih banyak bersyukur, mukak lo udah cantik, lawan ketakutan kalo, bahkan kalo bisa kalahin, sampe dia nggak berani muncul lagi!."

"Lo juga." Arsya tersenyum kecil, di balas oleh senyuman kecil juga oleh Avan. Entah sejak kapan, tangan mereka juga saling menggegam.

Ku Benci Cermin (tahap revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang