Prolog

65 8 4
                                    

Seorang gadis berusia sepuluh tahun memandang penuh emosi cermin yang ada didepannya, matanya sembab, napasnya memburu, dan kedua tangannya mengepal kuat.

Rambut hitam gadis itu tampak tidak beraturan, sama seperti hatinya yang tidak tersusun lagi, telah hancur dan tidak bisa diperbaiki lagi.

"Dasar gadis buruk rupa!"

"Iya buruk rupa!"

"Huu ... buruk rupa!"

buruk rupa!"

"Arrgg .... " Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya, mejambak rambutnya kasar. Kenapa harus terdengar?. Suara itu membuatnya semakin hancur, tidak berani memandang dirinya dicermin.

"Seburuk itukah dirinya?" tanya gadis itu dalam hati.

"Tidak ... iya tidak buru rupa, mereka salah," tentang hatinya, "Tapi ada satu hal yang tidak bisa berbohong 'cermin'."

Gadis kecil itu berlahan mengakat wajahnya, memandang pantulannya dicermin, hingga sebuah suara-suara ilusi mulai terdengar.

"Iya dirimu memang jelek."

"Sangat jelek."

"Buruk rupa."

"Jelek."

"Buruk rupa."

"Jelek."

"Buruk rupa."

Seolah cermin itu bisa bicara, mengejeknya habis-habisan, membuat gadis itu langsung mundur, mengambil sebuah vas bunga yang ada diatas nakas, disamping tempat tidurnya.

Pyar ....

Suara pecahan cermin dan sebuah vas bunga dilempar menambah ketakutan orang-orang yang ada diluat kamar.

Kedua orang tua Fisa benar-benar panik, mengusahakan segala cara untuk membuka pintu kamar gadis kecilnya. Mereka tidak boleh kehilangan putrinya, cukup satu kali waktu kebakaran besar dirumahnya, yang membuat saudara kembar Arsya meninggal, sedangkan Arsya sendiri mengalami luka parah disebagian wajahnya.

"Sayang ... buka pintunya, kalau ada masalah ayok ceritakan baik-baik pada Mama," bujuk Cintra -- mamanya, namun sepertinya sedikitpun tidak didengar oleh Arsya.

Ini mendadak, dan terasa aneh. Arsya selama ini tidak pernah cerita apa-apa tentang sekolahnya, atau teman-temannya. Tapi tadi siang saat pulang sekolah putrinya terlihat murung. Iya juga menguci dirinya dikamar, dan setelah sore barulah terdengar teriakan, amarah, serta suara gaduh dari kamar Arsya.

"Mereka membeciku!"

"Mereka mengucilkanku!"

"Mereka menghina fisikku!"

"Semua orang menjauhi ku karna diriku!"

"Aku benci diriku, wajahku, bayanganku dan cermin itu arghh .... "

Pyar ...

Tepat diakhir teriakan terdengar kembali cermin pecah beserta lemparan benda keras. Membuat Citra semakin menangis histeris, iya takut anaknya kenapa-kenapa.

"Apa yang terjadi selama ini dengan Arsya?, hiks .... " Citra menggedor pintu dengan keras. "Kalau sampai putri ku kenapa-kenapa karna kebodohanku, aku bersumpah tidak akan pernah mengampuni diriku sendiri!"

"Sayang tenang lah," ucap sang suami memeluk istrinya.

"Bagaimana aku bisa tenang kalau putriku sendiri sedang berusaha melukai dirinya sendiri, hiks .... " Citra menangis histerih, mempekeruh suasana. Tapi tidak bisa disalahkan, Citra adalah seorang ibu yang tidak ingin anak kenapa-kenapa.

"Tenang ya, kita akan cobak buka pintunya dengan kunci candangan ini." Suara teduh Radit sedikit menangkan Citra, walau rasanya masi sesak selama belum melihat putrinya baik-baik saja. Citra mengangguk, iya membiarkan suaminya untuk mencoba membuka pintu.

Radit sebagai seorang ayah tampak membuka pintu dengan tangan bergetar. Rasa takutnya tidak jauh berbeda dengan Citra sekarang ini. Ini bersangkutan tentang nyawa putrinya, jadi tentu Radit sangat takut.

Radit menarik napas, berdoa agar kuncinya berhasil diputar, dan ternyata benar berhasil. Dengan cepat Radit langsung membuka pintunya, melihat putrinya sudah tergeletak dilantai dengan tubuh bersimpah darah.

Kamar putrinya tidak bisa dikatakan baik-baik saja, dengan cermin rias, vas, dan barang-barang lainnya yang mudah pecah tidak berbentuk lagi dibawah. Radit juga menemukan buku putrinya yang penuh dengan coretan, kata-kata kasar, dan hinaan yang mengejek fisik putrinya.

Radit sadar, selama ini putrinya kena bully-an di sekolah. Tapi karna karakter putrinya tidak terbuka dan suka memendam, iya jadi terus menyembunyikan rasa sakitnya, dan mungkin hari ini adalah puncaknya.

"Radit ... kita harus secepatnya bawa Arsya kerumah sakit, banyak darah dan luka ditubuhnya." kwatir Citra, sambil mendekap tubuh mungil putrinya kedalam pelukan hangat Citra, pelukan seorang ibu.

Radit menangangguk, dengan buru-buru iya megendong tubuh Arsya dan membawanya kerumah sakit.

"Kamu anak kuat dan hebat, Papa yakin kamu akan bertahan. Teruslah menjadi orang yang bermental baja, orang yang tidak akan pernah takut, dan kalah lagi dengan bully. Walaupun masi lama, tapi Papa yakin, kamu akan jadi remaja yang paling dipuja nanti karna kecantikanmu, akan Papa buat kamu jadi gadis yang sangat cantik, melebihi gadis-gadis yang tega membullymu.

Moga suka, dan selamat membaca part selanjutnya.

Ku Benci Cermin (tahap revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang