Part 14

8 1 0
                                    

Seumur hidup yang aku tau, hanya cermin yang selalu aku benci, karna benda itu ingin melukai diriku, menyakitin batin dan perasaanku, tapi kini ku tau, sahabat dan masalalu juga sama dengan cermin yang aku benci selama ini.

"Kita main damai aja sekarang, semuanya udah terjadi kan?" ujar Vala, "yang jelas gue yakin, Anan beneran nggak tau apa-apa," belanya, mengetahui bagaimana sifat sahabatanya selama ini, hingga sebuah pertanyaan membuat mereka sekaligus tidak percaya.

"Kalian semua emang bener, bukan Anan pelaku teror selama ini, tapi gue."

Semua orang menoleh, menatap Asco tidak percaya, terutama Zafran, iya benar-benar tidak percaya. Apa yang membuat sahabatnya berbuat seperti itu, sepertinya tidak ada alasan.

"Kenapa pas dia ngaku kalian semua diem?" tanya Anan, meremehkan Zafran yang sudah menuduhnya macam-macam, padahal pembuat masalah sebenarnya adalah Ascom, sahabat Zafran sendiri.

"Kenapa Asco, kenapa lo ngelakuin itu?" tanya Zafran dengan nada lemah, sungguh ia tidak percaya.

Asco diam sebentar, ia menghela napas, menatap Arsya dan Anan dengan tatapan bersalah. "Maaf," ucap Asco menunduk, ia benar-benar merasa malu sekarang.

"Lo belum jawab gue, kenapa lo ngelakuin semua ini!" Zafran terpancing emosi, rasa tak percaya mengusai, tapi setelah Asco mengakui, bagaimana bisa ia tidak percaya.

"Gue ngelakuin ini .... " kalimat Asco sengaja dipotong, menatap Anan dengan tatapan yang susah diartikan. Membuat tatapan-tatapan curiga kembali tercipta. "Gue suka sama Anan."

Deg.

Anan terkejut, sedangkan yang lain langsung berpikir, alasan apa yang sedang Asco buat kali ini. Apa hubungannya dengan teror yang ia lakukan kalau cintanya dengan  Anan.

Sebelum tanya-tanya itu muncul, Asco lebih dulu angkat suara. "Gue tau apa yang ada dipikiran kalian, tapi gue yakin kalian pasti bakal paham setelah ini." Asco menghembuskan napasnya kasar.

"Gue udah suka sama Anan dari dulu, gue suka ngeliatin dia, merhatiin dia, bahkan sampai kita bisa satu kelompok bareng, sumpah gue seneng banget. Tapi semuanya hancur gara-gara lo Za, sama Arsya." Asco menatap Arsya dan Zafran bergantian, membuat dua orang itu saling pandang.

Apa salah mereka, itu yang Arsya tanyakan, kenapa lagi-lagi dirinya jadi sumber masalah orang. Padahal seingat Arsya, sekalipun ia belum pernah mencari masalah. Arsya tetap diam kali ini, walaupun dalam hati sudah bertanya-tanya terus, mendengarkan penjelasan Asco.

"Gue marah di taman waktu itu bukan karena Anan nggak fokus, tapi karena liat Anan cemburu saat Zafran deket sama Arsya," akui Asco, dan kali ini pandangannya hanya pada satu titik, yaitu Anan. Sunggug Anan sangat terkejut, alasan pertengkarannya waktu itu benar-benar di luar dugaan. Anan juga tidak pernah menyangka akan disukai diam-diam begini.

"Dan gue ngalakuin teror buat balas rasa sakit Anan ke Arsya, gue neror Arsya biar dia keluar dari sekolah, supaya lo sama Anan bisa bersatu."

Cukup, Zafran emosi mendengar penuturan sahabatnya itu, maka dari itu Zafran langsung saja melayangkan pukulan, dan mendorong Asco hingga tersungkur di lantai. Keributan juga tidak bisa terelakkan, karena Zafran juga terus memukuli Asco, menekan kuat-kuat dada Asco.

"Alasan lo nggak masuk akal, apalagi sampe lo ngambil tindakan yang membuat nyawa orang bisa saja sampe melayang!" emosi Zafran yang sudah seperti orang kesetanan.

"Alasan gue baik Zaf, gue pengen liat Anan bahagia, relain hati gue patah."

Bugh.

Zafran kembali memberi bogeman mentah pada pipi Asco. Semakin banyak Asco memberi alasan, semakin muak Zafran, apalagi alasannya benar-benar memancing emosinya.

"Zafran stop!" sentak Arsya akhirnya, ia benar-benar binggung ingin menghentikan kerusuhan dengan cara apa, sampai ia merasa tidak tahan lagi.

"Semua udah selesai kan? semuanya juga udah terungkap kan? dan gue juga udah ngambil keputusan kan?" Arsya menekankan setiap kata 'kan' menegaskan setiap kalimatnya, membuat Zafran langsung bungkam dan berhenti memukul Asco. "Anan suka sama lo, Asco suka sama Anan, dan gue udah mutusin pergi. Selesai, udah semunya selesai. Jadi sekarang, nggak perlu ada yang diributin lagi."

Tepat setelah mengatakan itu jam pulangpun berbunyi, membuat Arsya langsung mengambil tasnya dan pergi dari sekolah.

Dulu Arsya pernah berpikir, hanya cermin musuh terbesarnya, yang membuatnya selalu sakit saat melihat itu, tapi sekarang teman dan masa lalu ternyata sama saja dengan cermin yang paling Arsya benci seumur hidup.

***
Malam telah tiba, Arsya dan keluarganya baru saja selesai sarapan, dan mereka memutuskan untuk duduk di meja makan sebentar, karna Arsya ingin membicarakan sesuatu.

"Jadi ada apa, Arsya?" tanya Citra, dengan suaranya yang terdengar lembut.

"Dua hari lagi Arsya bakal berangkat ke Bali." Arsya menatap kedua mata orang tuanya, terlihat sekali kalau mereka mendadak merasa tidak setuju, tapi setelah sebelumnya mengizinkan karena bujukan dan rayuan Asrya kemarin.

Dengan berat hati Radit hanya mengangguk. "Semoga keputusan kamu benar ya, kamu sudah dewasa, jadi Papa yakin pilihan kamu juga udah tepat." Adit sedikit berkaca-kaca, disisi lain ia sangat bangga dengan putrinya. Sudah sebesar itukah putrinya sejak kejadian tujuh tahun lalu. Tapi disisi lain, hatinya merasa tidak terima, kalau Arsya harus jauh-jauh darinya.

Citra sebagai mamanya saja sampai tidak bisa berkata-kata, ia meneteskan air mata yang tidak bisa digolongkan kedalam rasa bangga atau sedih. ruangan yang tiba-tiba biasa saja mendadak jadi sendu.

Arsya paham, ia menghela napas dan menutup matanya sebentar. Sampai pada saat ia membuka mata, terlihat kedua orang tuanya masi menunduk, menyembunyikan kesedihan yang bersembuyi dibalik rasa harunya.

"Ma ... Pa ... Arsya yakin, dan Asrya bakal bikin bangga kalian. Arsya juga sudah besar, jadi tau gimana caranya jaga diri," ucap Arsya meyakinkan. Adit sebagai papanya, Adit hanya bisa mengangguk.

"Iya Papa tau itu, karena Papa percaya kamu anak yang hebat." Adit berkata penuh rasa bangga, menambah rasa percaya diri untuk Fisa.

"Dan Mama juga percaya putri Mama kuat, dan udah bisa mandiri," timpal Citra.

"Makasi Ma, Pa."

Kedua orang tua Arsya langsung mengangguk, membuat Arsya sudah ingin menangis tersedu-sedu rasanya. Ia sendiri tidak menyangka, respon kedua orang tuanya akan sampai seperti itu.

"Percaya atau tidak, pilihan Asrya emang berat, dan akan selalu berat, tapi doa kalian adalah jalan yang selalu memberikan Arsya harapan untuk terus memilih jalan yang benar, tanpa takut nantinya itu jalan buntu," ucap Fisa tersenyum kecil.



okey, setelah ini aku nggak tau up kapan, tapi aku harap kalian ada yg suka ya sampai sini. Ditunggu pokoknya vote sama komen kalian.

Ku Benci Cermin (tahap revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang