Part 23

5 3 0
                                    

Aku sadar, semunya tidak seburuk apa yang aku bayangkan.

Jam delapan malam, Arsya kembali ke apartemennya dan mandi untuk bersiap tidur. Arsya yang sedang mencuci mukak langsung terhenti saat melihat cermin yang masi tertutup korden kuning ada di depannya. Cermin itu memang sudah di pasangi korden sebelum Arsya tinggal, tidak ada yang membukaknya, termasuk Arsya.

"Lo harus lebih banyak bersyukur, mukak lo udah cantik, lawan ketakutan kalo, bahkan kalo bisa kalahin, sampe dia nggak berani muncul lagi!"

Tiba-tiba ucapan Avan terlintas di benaknya. "Lawan ketakutan lo, bahkan kalo bisa kalahin," gumam Arsya. Tangannya mencengram erat wastapel.

"Apa ya gue bisa," batin Arsya yang terus memandang cermin di depannya, tangannya berlahan terangkat dan terulur untuk membukkaknya. Arsya berhasil meraihnya, tapi ia tidak berani membukaknya. Ia belum berani, jadi langsung menurunkan tangannya kembali. Lebih memilih untuk menuntaskan kegiatannya, tapi saat Arsya sudah siap dan hendak keluar, batinnya malah meronta.

Sret.

Arsya akhirnya membuka korden itu, dengan mata yang tertutup erat. Arsya tidak berani membukanya, tapi hatinya terus mencoba berdamai dengan hati, memutuskan menghitung dalam diam, hingga hitungan yang ketiga ....

Arsya melihat pantulannya sendiri di cermin. Hanya ada gadis cantik dengan pipi chubby, bibir tipis dan alis yang tidak terlalu tebal. Wajahnya juga bulat, dengan bulu matanya yang lentik. Arsya meraba wajahnya, benarkah itu dirinya, sangat berbeda dari yang dulu.

Tok ... tok ... tok ....

Arsya terkesiap, ia kembali menutup cermin itu dengan korden. Tidak lupa mengelap wajahnya dengan anduk kecil yang ada disana. "Siapa yang bertamu malam-malam begini?" batin Arsya bertanya-tanya.

Dengan langkah cepat Arsya keluar kamar mandi, dan membuka pintu depan. "I ... Tante Tika," kaget Arsya, langsung memek tantenya tersebut, ia senang tantenya datang ke Bali.

"Tante kangen kamu Arsya, gimana kabar kamu?"

"Arsya juga, dan kabar Arsya juga baik."

Tika melepaskan pelukannya, ia memandang Arsya dengan senyum yang kian lebar. "Tante liat kamu makin bahagia ya tinggal di Bali," ucap Tika yang dapat melihat raut wajah Arsya yang tanpa beban.

"Hehe ... iya Tan, Arsya seneng tinggal di sini, belum lagi Arsya puas banget jalan-jalan di Bali," ucap Arsya yang rasanya ingin menceritakan semuanya kepada Tante Tika. Hanya kepada Tantenya itu ia suka cerita panjanga lebar, dan sepertinya Tante Tika sangat senang dan menanti-nanti untuk mendengarkan cerita Arsya.

Mengingat mereka masi di luar, Arsya mengajak tantenya itu untuk masuk terlebih dahulu. Menyuruhnya duduk sembari menunggu Arsya membuatkan minum. Arsya disana sebenarnya hanya menyimpan beberapa minuman botol di dalam kulkasnya.

"Maaf ya, Tan, Arsya cuma punya ini," ucap Arsya menaruh dua botol minuman, serta beberapa cemilan atau sack ala anak kos pada umumnya.

"Eh nggak apa-apa, seharusnya Tante lho yang bawa makanan ke sini," ucap Tika yang berucap santai. "Oh iya, kamu mau cerita apa lagi?"

"Sebelum cerita, Tante yang jelasin dulu, kok Tante bisa ada adi di sini?" tanya Arsya balik, karena rasa penasarannya lebih meronta di banding ingin ceritanya.

"Tante ada kerjaan, terus mampir deh. Hem ... kamu tinggal di Bali katanya sama temen kamu kan? terus sekarang dimana?"

"Pisah kamar, Tan, dia kan cowok."

Tante Tika mangut-mangut, ia membuka minuman yang Arsya taruh, lalu menegaknya hingga tandas. Satu ide terbesit di benaknya. "Tante balik ke Jakarta kan malam ini, sebelum berangkat kita makan di luar yuk, nanti Tante yang bayar."

"Yah ... kok cepet si," kecewa Arsya yang ingin cerita banyak dengan tantenya itu, tapi saat mendengar tawarannya Arsya jadi mau. "Tapi kalo soal makan mau kok, Tan. Hehe .... "

"Ya udah sana siap-siap, sekalian tu ajak temen kamu."

"Siap, Tante!"

***

Setelah mengelilingi Kota Denpasar, yang cukup luas itu, sampai akhirnya mereka menemukan rumah makan ayam betutu khas Bali. Karena cukup menarik Tika memutuskan untuk mengajak Arsya dan Avan makan disana saja.

Arsya turun, yang di barengi oleh Avan dan Tante Tika, mereka cukup tertarik dengan tempatnya. Parkirannya juga lumanyan luas, sangat pas mungkin dengan pengunjung rumah makan yang ramai. Kalau di lihat tempatnya sama seperti rumah makan biasa yang ada di Bali, tapi mungkin menunya saja yang agak berbeda.

Tempatnya sudah tidak terlalu ramai, karena jam juga sudah larut malam, siapa yang makan jam segini. Arsya yang paling semangat memilih meja yang ada di tengah-tengah, sedangkan Tante Tika bertugas memesan makannya, dengan Avan yang mengekor kemanapun Arsya duduk.

"Gue nggak tau ada tempat makan kaya gini," ucap Arsya kagum, memandang kesekitar tempat makan. Sebenarnya sama saja si, cuma Arsya sangat senang saja kalau sudah diajak menjelajahi tempat-tempat yang ada di Denpasar ini.

"Sama," datar Avan.

"Lo suka nggak sama tempatnya?" tanya Arsya basa-basi, tapi seperti biasa, sifatnya yang memang tidak bisa di obati, Avan hanya mengangguk saja sambil mengecek ponselnya.

Arsya mendengkus keras, ia ingin megantikan hapenya dan jadi hal yang di pandangi Avan. Beberapa menit berpikir begitu, Arsya memukul kepalanya pelan. "Bisa-Bisanya ia berpikir begitu," batin Arsya, "padahal dirinya bukan siapa-siapa. Ck, miris."

"Hey ayo, makannya bentar lagi dateng, kalian bisa sambil cerita-cerita," suruh Tika yang baru datang, ia langsung duduk di hadapan dihadapan Arsya dan Avan, karena mereka sedang duduk di meja bundar. "Kalian suka nggak tinggal disini?"

Avan mengangguk, berbeda dengan Arsya yang sudah menyiapkan kata panjang lebar, tapi batal karna seorang pelayan sudah datang. Tika sudah memesan dua paket tadi, sehingga meja mereka sampai penuh berisi makanan. Beberapa menit pelayan kembali pergi, membuat Tika kembali memandang Arsya.

"Gimana Arsya?"

"Seneng banget dong Tante, di sini tempatnya masi agak sejuk, ya setidaknya nggak kaya Jakarta yang udah penuh sama polusi, di tambah suasanua yang baru, jadi Arsya betah tinggal di sini. Belum lagi temen baru Arsya baik-baik banget. Jadi pengen disini lama-lama."

Mendengar penuturan Arsya yang sudah seperti anaknya sendiri itu membuat Tika tersenyum lebar. Tika bisa tangkap ada banyak ke bahagiaan di mata Arsya. Sepertinya selama tinggal disini Arsya terasa tenang tanpa beban, berbanding terbalik dengan Avan.

Dari awal bertemu sampai bertatapan dalam jarak yang begitu dekat, Tika bisa merasakan luka kelam remaja itu. Auranya begitu sedih, dan matanya megambarkan banyak luka. Avan juga terlihat memaksa dirinya agar tenang. Hal yang aneh, Tika jadi menebak-nebak, luka apa yang di miliki remaja itu.

"Hem ... Tan," panggil Arsya, ia tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ini kita makannya kapan ya?"

Tika yang menyadari kalau lupa menyuruh mereka makan langsung tepuk jidat. Gara-Gara dirinya mereka jadi menunggu. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi Tika langsung mempersilakan mereka makan, yang dibarengi oleh Tika juga.

Ku Benci Cermin (tahap revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang