Aku ragu, tapi apakah mungkin aku bisa menolak, cinta menjerat banyak hal, cinta pula yang menjeratku.
Hari masi sangat pagi, sekitaran jam enam, tapi Avan dan Arsya sudah tiba di Jakarta. Mereka kambali mengijakkan kakinya disana. Raut wajah bahagia dan senang mereka tunjukan.
"Gue seneng akhirnya bisa balik, walaupun ada sedihnya juga si," ucap Arsya, berjalan beriringan dengan Avan.
"Hadapin aja," ucap Avan yang seperti biasa, tidak ada raut apapun di sana, selain datar tanpa bisa di tebak ia sedang marah, sedih, atau kecewa sekarang.
Avan sendiri hanya sedang mencoba mengatakan itu pada dirinya, agar tidak ada perasaan kecewa yang muncul lagi, ia takut kalau dirinya berharap, mereka akan mematahkannya lagi.
Avan berhenti tepat di ruang tunggu. Seperti dugaan, tidak ada orang mejemputnya, miris sekali. Bagaimana bisa mereka sampai setidak acuh itu pada Avan, padahal dirinya baru saja kembali dari Bali, berharap akan ada yang mejemputnya sekarang.
"Kapan mereka sadar, kalau Avan berharga," batin Avan.
Berbeda dengan Arsya, ia langsung tersenyum lebar saat melihat keluargnya sudah menanti, bahkan dengan Zafran juga. Arsya tidak terlalu peduli, ia hanya langsung memeluk kedua orang tuanya dengan erat.
"Akhirnya kamu pulang, Nak, Papa rindu banget," ucap Radit, mengeratkan pelukannya seolah tidak mau lepas.
"Arsya juga, Yah," balas Arsya sangat senang sekali. Pelukan itu kembali bisa Arsya rasakan. Pelukan yang begitu hangat dan penuh kasih sayang, dimana lagi Arsya bisa merasakannya, selalain dari papanya.
Arsya menghela napas, ia melepeaskan pelukannya dan menatap Zafran. "Makasi ya, karna udah jemput."
"Iya sama-sama. Lo apa kabar?" tanya Zafran basa basi.
"Baik." Arsya tersenyum lebar, sampai Zafran mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, sebuah buket mawar merah, yang disusun
dengan begitu cantik. "Ini buat lo," ucap Zafran tanpa malu-malu, kagi pula Arsya juga menerimanya dengan baik. Saat Arsya mengecek buket bunganya, ternyata terselip sebuah surat, Arsya langsung membukanya, tapi sambil memandang Zafran yang tersenyum kain lebar.Arsya berhasil membukanya, ia yang penasaran kembali membuka lipatannya, memandang warna surat itu. Sampai sebuah tulisan muncul.
I Love You Arsya
Aku cinta kamu
Maukah kamu membalasnya?Setelah selesai menbacanya, Arsya kembali memandang Zafran, yang kini sudah bersimpuh di hadapannya, dengan mengakat tangannya yang memegang kotak merah, di dalamnya berisi cincin.
"Za .... " ragu Arsya, ia menoleh kebelakang, dimana seharusnya Avan ada di sana. Tapi mendadak remaja itu hilang, entah kemana perginya. Arsya juga sudah menatap kesekeliling bandara, tapi tidak ada. "Avan," gumam Zafran.
"Kamu mau?" tanya Zafran menyadarkan Arsya. dirinya binggung ingin menjawab apa, tapi saat melihat raut bahagia orang tuanya, Arsya jadi tambah binggung.
"Udah Asrya, kamu jangan lama-lama binggungnya. Zafran udah delapan bulan loh nunggu dengan setia." Radit berucap dengan senyum kecil, terlihat ia sangat setuju kalau putrinya berpasangan dengan Zafran. Tanpa sadar sebenarnya Arsya telah suka pada orang lain, bukan Zafran. Tapi demi melihat keduanya orang tuanya tidak kwatir, kalau Arsya berpacaran dengan pemuda tidak jelas, Arsya mengangguk.
"I ... iya, aku mau."
Zafran tampak sangat senang, mengambil salah satu tangan Arsya, memasangkan cicin yang sudah khusus ia beli untuk Arsya di jari manis gadis itu. Benar-Benar pas.
"Makasih ya Arsya," Zafran langsung berdiri. Ia tampak senang sampai memeluk papa Arsya dengan begitu eratnya.
"Udah .... udah, kalian rayain dulu sana, nanti kalo sama kami pas di rumah aja," ucap Adit sambil melepaskam pelukan Zafran yang terlalu kuat.
"Gimana Arsya?" tanya Zafran langsung balik badan. Tapi sepertinya Arsya yang sedang patuh dengan perintah papanya, hanya menurut saja. Mengikuti semua kemauan kedua orang tuanya. Walaupun dalam hati ia menyesal telah menerimanya, menunggu cinta Avan adalah tujuannya, tapi karna terlalu lama menunggu dan takut mengecewakam yang sudah ada, Arsya hanya menurut.
***
Dengan raut yang begitu senang, Zafran beberapa kali melirik Arsya yang sedang makan. Entah kenapa gadis itu selalu diam, tidak mengeluarkan sepatah kata dari tadi. Zafran sendiri kini sedang mengajak Arsya makan di sebuah kafe yang letaknya cukup dekat dari bandara, hanya berdua saja."Ekhem ... lo, eh kamu gimana selama tinggak di Bali, betah nggak?" tanya Zafran mendadak canggung, selain karna binggung ingin bicara tapi mulai dari mana."
"Banget, tempatnya bagus dan tenang," balas Arsya sekedarnya, ia sedang malas bicara, terlebih lagi dengan Avan yang main meninggalkannya begitu saja. "Gimana sama sekolah kita?" Arsya berusaha menekannya dengan bertanya balik.
"Hem ... baik, anak-anak yang melakukan pertukaran pelajar ganteng-ganteng sama cantik-cantik, makin banyak gosip sekolah juga sejak mereka dateng. Tapi ya gitu, sekolah kaya kehilangan anak emasnya," ucap Zafran, siapa lagi yang di sebut anak emas selain Avan.
"Terus kelas kita? kamu masi berantem sama Vasco? terus Vala sama Anan?"
Mendengar pertanyaan Arsya, Zafran jadi berat ingin menceritakannya, tapi kalau tidak di ceritakan, mungkin makin sakit saat Arsya mendengarnya dari orang lain. Zafran menghembuskan napasnya kasar, ia pun mulai bercerita. "Vasco meninggal waktu kecelekaaan motor sama Anan," sendu Zafran, jujur ini adalah duka mendalam baginya.
Arsya terkenjut, ia menatap Zafran tidak percaya. "Terus Anan?"
"Dia koma satu bulan, tapi setelah sadar dia malah kaya orang gila. Sampe keluarganya masukkin Anan kerumah sakit jiwa."
"Kok aku bener-bener nggak tau ya," kecewa Arsya sama dirinya sendiri, Avan juga tidak pernah cerita soal ini, dia jadi benar-benar merasa bersalah.
"Udah kamu tenang aja, sekarang semunya udah baik-baik aja." Zafran tersenyum kecil, ia menepuk pundak Arsya. "Dan kamu udah aman sama aku sekarang, nggak akan ada lagi yang gangguin kamu."
"Makasi ya." Arsya tersenyum kecil penuh paksaan. Sungguh hatinya sedang merasa amat-amat bersalah sekarang, di tambah Avan yang main menghilang. Walaupun sudah hafal betul dengan kebisadaan Avan, Arsya tetap merasa kwatir.
"Hem ... kamu sama Avan pasti seneng banget ya, bisa sekolah sama tinggal di Bali," ujar Zafran, ia terus berusaha menyambung topik agar tidak putus.
"Banget, kesempatana emas buat aku. Disana juga aku ngeluapain semuanya, memulai hidup baru, bahkan, saat gue balik, berat banget rasanya," jujur Arsya, membuat Zafran langsung mangut-mangut paham. Ia mendengarkannya dengan seksama.
"Nanti pas nikah, kita nikahnya di sana aja, terus sekalian tinggak di sana, biar kamu seneng."
"Aku ngikut aja." Zafran terkekeh, benar-benar wanita idaman. Sejak kelas sepuluh Zafran mengincarnya, bahkan sampai berusaha dekat dengan teman Arsya, dan kini pada akhirnya Arsya berhasil jadi pacarnya. Pacar yang di restui orang tuanya pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ku Benci Cermin (tahap revisi)
Teen FictionSatu hal yang paling aku benci, yaitu adalah cermin, terutama orang yang ada dipantulan cermin itu. Note : Bacanya jangan sampe kebawa perasaan, entar nyesek sendiri wkwk.