Aku tak pernah menyangka akan bisa tidur dengan nyenyak semalam. Padahal biasanya, aku agak kesulitan tidur di tempat asing. Mungkin karena faktor kelelahan juga. Acara ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi kemarin benar-benar membabat habis tenagaku.
Untungnya, aku juga lolos semalam. Mas Haikal dengan bijaksana mengatakan kalau sebaiknya kami menunda dulu apa yang sebenarnya sudah bisa dilakukan. Aku menjerit kesenangan dalam hati. Ya, walaupun tetap saja tersipu karena Mas Haikal mengatakan keputusannya itu dengan manis.
“Aku tahu kamu capek, Sa. Aku sendiri juga agak kurang fit. Jadi menurutku, lebih baik kita tunda dulu, ya? Aku ingin memberikan pengalaman terbaik untuk kali pertamamu, dan aku takut nggak bisa memberikan hal itu dengan keadaan raga kita yang sama-sama lelah sekarang. Lagi pula, lebih baik di rumah kita sendiri nanti.” Begitu kata Mas Haikal.
Tentu saja, aku langsung menyetujui usul itu.
“Ayo, kita turun sarapan, Sa!”
Ajakan Mas Haikal itu membuyarkan lamunanku tentang kejadian semalam. Dia sudah tersenyum manis di depanku. Satu hal yang membuatku tak habis pikir adalah kenapa Mas Haikal justru terlihat makin ganteng dengan penampilan rumahan seperti ini? Celana pendek dan kaus membuatnya tampak masih seusia siswa bimbinganku yang biasa berseragam putih abu-abu.
Aku tak bisa menahan senyum saat tanganku digandeng untuk keluar kamar. Walaupun meringis dalam hati. Menyadari kalau tingkahku ini mungkin sedikit norak.
“Pagi, Pa. Pagi, Ma." Mas Haikal menyapa orang tuanya.
Pak Hasan dan Bu Meutia membalas sapaan putra sulungnya sambil tersenyum lebar. Aku mengikuti gerak Mas Haikal yang mencium kedua punggung tangan orang tuanya. Ternyata keluarga ini tampak harmonis dan hangat. Tidak seperti dugaanku sebelumnya tentang keluarga kaya pada umumnya.
“Nyenyak semalam tidurnya, Hilsa?” Bu Meutia bertanya padaku.
Aku mengangguk dengan cepat. “Alhamdulillah, nyenyak, Bu.”
“Kok masih manggil Ibu? Mama aja,” koreksi Bu Meutia.
Aku yang jadi salah tingkah, hanya bisa mengangguk dengan kikuk. Lalu, kurasakan elusan di punggung tanganku yang ada di atas paha. Aku menoleh dan melihat Mas Haikal yang tersenyum juga padaku.
Ya Allah, segala puji syukur kupanjatkan untuk-Mu atas segala nikmat yang telah Engkau beri. Kalau di FTV yang suka ditonton Ibu, seorang menantu itu biasanya dimusuhi ibu mertua, sepertinya itu tidak terjadi padaku. Bu Meutia—eh, Mama maksudku, terlihat menyukaiku. Semoga saja ini bukan hanya sekadar intro untuk sebuah twist ending.
“Pagi!”
Sapaan penuh semangat itu membuatku menoleh. Bukan hanya aku, sih, tetapi semua orang yang duduk di meja makan.
Seorang pria berambut agak gondrong menghampiri meja dengan senyum sejuta watt. Hiperbola? Ah, tidak juga. Soalnya, dia tersenyum lebar sekali.
“Hai, Kakak. Apa kabar malam pertama? Sukses? Pasti, dong. Jangan bilang gagal karena udah lama puasa, ya?”
Pria itu tersenyum jahil setelah meledek Mas Haikal. Suamiku sih tampak biasa saja. Aku yang justru merasakan wajahku memanas.
“Haris, jaga omongan kamu. Yang sopan. Ada Hilsa juga sekarang. Hormati kakak iparmu,” tegur Pak Hasan—eh, Papa maksudku.
Mas Haris melempar senyum ke arahku. Tak ada raut merasa bersalah sama sekali.
Seperti halnya Mas Haikal, aku juga sudah mengenal Mas Haris jauh sebelum menikah, juga sebelum bekerja di KuBis. Bahkan, aku lebih sering bertemu dan mengobrol dengan Mas Haris daripada Mas Haikal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu
General FictionMenikah dengan duda? Kenapa, nggak? -Hilsa Halwatuzahra Work ini hanya lapak promosi saja. Versi lengkap bisa dibaca di KBM Aplikasi. Terima kasih.