Dulu, saat Mas Haikal dan keluarganya melamar, aku tak langsung memberikan jawaban. Aku tak seceroboh itu untuk langsung memberikan jawaban tanpa pertimbangan yang masak. Menikah tanpa cinta? Why not? Mungkin bisa. Toh, cinta bisa hadir seiring dengan berjalannya waktu. Namun, menikah tanpa keyakinan? Itu bodoh namanya.
Menikah adalah hal besar. Ibadah seumur hidup. Salah satu fase yang mempunyai peran besar dalam menentukan bahagia tidaknya hidup seseorang. Seseorang harus memastikan hidupnya nanti akan bahagia sebelum memutuskan menikah dengan seseorang. Prinsipku begitu. For your information, bahagia menurutku itu tak melulu soal materi, ya?
Maka, aku melakukan beberapa hal terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban atas lamaran Mas Haikal. Minta petunjuk pada Allah, sudah pasti. Meminta pertimbangan orang tua juga kulakukan. Dan yang tak kalah penting, aku meminta waktu bicara dengan Mas Haikal untuk menilai kualitas dirinya sebagai calon suami.
“Mas bisa menganggap ini sejenis interview dalam pekerjaan,” ucapku pada awal pertemuan kami saat itu.
Mas Haikal meresponnya dengan tertawa. Padahal aku tak ada niat melucu.
“Maaf. Kamu lucu soalnya,” ucapnya setelah berhasil meredakan tawa. “Oke, kita bisa mulai sesi interview ini.”
Aku mengabaikan wajah Mas Haikal yang masih tampak geli. Sadar kalau aku harus tampil serius dan profesional.
“Kalau dulu, Mas Haikal yang interview aku. Sekarang, posisinya terbalik, ya, Mas? Aku yang akan kasih pertanyaan, dan Mas Haikal yang harus menjawab. Tapi tenang aja. Nanti di sesi terakhir, Mas akan kukasih kesempatan untuk mengajukan pertanyaan juga.”
Mas Haikal mengangguk. “Siap.”
“Apa alasan Mas memilih aku jadi calon istri?”
Pertanyaan pertama keluar. Mas Haikal masih tampak tenang. Sepertinya, dia sudah memprediksi sebelumnya kalau akan ada pertanyaan ini.
“Karena kamu memenuhi semua kriteria calon istri ideal buatku,” jawabnya mantap dengan senyum manisnya yang paten.
Aku menelan ludah. Merasakan panas menjalari wajah. Mas Haikal baru saja mengembalikan kata-kataku di Anyer dulu.
“Nyindir aku, nih?” Aku menyipitkan mata. Sok mengintimidasi.
Pria itu tertawa kecil, lalu menggeleng. “Nggak. Memang kenyataannya begitu, kok.”
Duh, boleh GR, nggak? Mau tersenyum, tetapi aku tahan.
“Lanjut pertanyaan berikutnya, ya? Maaf sebelumnya kalau pertanyaan kali ini agak pribadi. Sejak kapan Mas jadi duda?”
Aku mengucapkan kata duda sambil memejamkan mata sedikit. Takut membuat Mas Haikal tersinggung. Namun, saat aku membuka mata kembali, ternyata senyum Mas Haikal tak luntur. Aman, dia nggak marah.
“Sudah lama. Sekitar sepuluh tahun yang lalu.”
Wow! Cukup lama ternyata, tetapi aku harus tetap waspada.
“Masih ada rasakah sama sang mantan?”
“Nggak ada sama sekali.”
“Serius? Aku butuh jawaban yang jujur, Mas. Bukan jawaban yang manis.”
Dia mengangguk mantap. “Serius. Perasaanku sudah selesai jauh-jauh hari sebelum melamar kamu.”
“Ada kemungkinan cinta lama bersemi kembali?” Aku masih belum puas.
Bukan berlebihan. Aku hanya ingin memperjelas semua di awal. Hati dan perasaan adalah masalah yang kompleks. Aku tak mau salah langkah. Apalagi sampai terlibat dengan orang yang masih memeluk erat kenangan dan masa lalu. Percayalah, menjadi bayang-bayang itu tak enak sama sekali!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu
Fiction généraleMenikah dengan duda? Kenapa, nggak? -Hilsa Halwatuzahra Work ini hanya lapak promosi saja. Versi lengkap bisa dibaca di KBM Aplikasi. Terima kasih.