“Jadi, Mas dulu nikah muda, ya?” Aku menoleh pada Mas Haikal yang berbaring di sebelahku.
Sambil menatap langit-langit kamar, Mas Haikal mengiyakan dalam bentuk gumaman.
“Lala ‘kan umurnya sudah lima belas tahun, sedangkan Mas baru tiga puluh delapan tahun. Jadi, Mas udah punya anak di usia dua puluh tiga tahun?” Aku makin kepo.
Lagi, Mas Haikal mengangguk. “Iya, aku nikah umur dua puluh dua tahun. Lulus kuliah langsung menikah.”
“Wah!” Aku sampai tak bisa berkomentar.
Mas Haikal menoleh sambil tersenyum. “Kenapa? Heran atau kagum?”
Dih, pede amat!
“Ya ... cukup kaget, sih. Apalagi Mas ‘kan laki-laki. Biasanya memilih membangun karir dulu. Atau jangan-jangan ...?” Mataku menyipit dengan satu dugaan yang melintas.
Mas Haikal mengernyit, lalu mengedikkan dagu ke arahku. Isyarat agar aku meneruskan kalimat yang masih menggantung.
“Jangan-jangan married by accident, ya?” Aku mengungkap dugaanku, lalu ... “Argh!!”
Keningku disentil, Saudara-Saudara! Ini masuk ranah KDRT, bukan, sih? Kuusap dahi sambil memelotot ke arah Mas Haikal yang malah tertawa. Namun, tak lama kemudian, dia bergerak menyingkirkan tanganku dari kening. Mengganti dengan tangannya sendiri. Usapan itu selembut tatapan matanya. Eh, yang diusap itu aku, yang lain nggak usah ikut baper.
“Kamu beneran pengen tahu kisah masa laluku? Nggak cemburu?” Mas Haikal bertanya.
Aku terdiam sebentar, lalu menjawab, “Ehm ... gimana, ya? Cemburu, sih. Tapi penasaran juga.”
Mas Haikal tertawa pelan. “Perempuan itu kebanyakan memang masokis, ya? Suka menyakiti diri sendiri.”
Aku cemberut. “Maksudnya?”
“Kalau memang cemburu, kenapa harus memaksakan diri ingin tahu? Apa itu namanya kalau bukan masokis?”
Eh, iya juga, sih! Tapi ... kan susah buat tidak kepo.
“Tapi kalau kamu memang penasaran, aku akan cerita. Tapi nggak perlu detail, ya? Bagian-bagian yang penting aja.” Mas Haikal akhirnya memutuskan.
“Kenapa nggak semua? Masih mau disimpan sebagai kenangan berdua aja, ya?” tanyaku berprasangka.
Mas Haikal kembali tertawa sambil menggeleng. “Tuh, belum apa-apa, kamu udah berpikiran macam-macam begitu. Mending nggak usah cerita aja, deh.”
Aku langsung protes. “Ish, kok gitu, sih? Aku ‘kan udah penasaran banget.”
“Ya sudah, berarti kamu harus janji nggak bakalan mikir aneh-aneh. Apa pun yang terjadi di masa lalu, itu nggak akan berpengaruh pada kehidupan kita saat ini. Gimana? Sanggup?”
Mas Haikal memasang wajah tak bisa dibantah. Jadi, aku hanya bisa mengangguk setuju.
“Aku sama Vita itu udah kenal dan pacaran sejak SMA. Sekitar enam tahunan sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Waktu itu, kami masih sama-sama muda, terlalu naif dan berpikir bahwa membangun sebuah pernikahan sambil berjuang meraih cita-cita itu akan menantang dan menyenangkan. Kami juga berpikir kalau perjuangan manis dan pahit yang nanti kami alami akan bisa menjadi cerita inspirasi bagi anak cucu kami.”
Aku sengaja diam dan menahan diri untuk tak berkomentar. Memilih menyimak kisah Mas Haikal sampai selesai.
“Lalu, realita menunjukkan kepada kami kalau pernikahan dan rumah tangga itu tak sesederhana ekspektasi kami sebelumnya. Kami sama-sama masih labil, sibuk dengan diri sendiri, ambisius, dan sukar mengalah. Kami jadi sering bertengkar sejak Vita hamil. Kamu tahu, Sa? Kehamilan Vita itu tidak kami rencanakan. Bahkan, kami sepakat untuk menunda sebelumnya. Namun, rencana manusia memang tak bisa dibandingkan dengan takdir Allah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu
Fiksi UmumMenikah dengan duda? Kenapa, nggak? -Hilsa Halwatuzahra Work ini hanya lapak promosi saja. Versi lengkap bisa dibaca di KBM Aplikasi. Terima kasih.